Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebuah Kisah dari Papua, "Itu Dia Kakak Gigi Kalung!"...

Kompas.com - 22/07/2016, 12:07 WIB
Silvita Agmasari

Penulis

PAPUA, KOMPAS.com - Ketika sinyal telepon selular Anda hilang sama sekali, bukan berarti bencana. Sebaliknya, justru ada hikmah di baliknya. Seperti saya yang selama dua minggu ikut serta dalam Ekspedisi Saireri bersama WWF Indonesia, mengelilingi Kabupaten Kepulauan Yapen dan Biak di Papua. Banyak lokasi, di mana menara pemancar telepon seluler tak dapat ditemui di wilayah ekspedisi.

Pada hari pertama saya cemas. Saya berpikir keras cara mengirim berita jika kondisi sinyal provider telepon seluler beberapa hari kedepan masih lemah. Tapi saya justru jadi bersyukur hilang dari peredaran komunikasi khususnya di media sosial.

Betapa tidak, kehilangan sinyal membuat saya harus fokus dengan apa yang ada di hadapan saya. Hal yang jarang terjadi pada masyarakat di kota besar. Juga membuat saya lebih berusaha untuk menjalin komunikasi dengan orang di sekitar saya, termasuk rekan perjalanan dan masyarakat lokal.

Pengalaman tak terlupakan yang saya dapatkan adalah saat berkomunikasi dengan anak anak di kampung. Menjalin komunikasi dengan anak-anak di kampung Papua agaknya 'susah-susah gampang'. Anak-anak di kampung Papua cenderung pemalu tapi penuh rasa ingin tahu. 

Melihat saya yang berambut lurus, anak-anak terus menatap saya sembari tertawa cekikikan. Ketika saya hampiri, mereka lari. Anehnya sehabis lari mereka kembali mengikuti saya di belakang. Momen ini membuat saya tertawa geli. 

Senjata utama saya untuk berkomunikasi dengan anak-anak di Papua adalah kamera. Anak-anak di kampung Papua sangat suka difoto. Maklum di kampung mereka jangankan kamera, listrik saja belum ada. Jadi mereka begitu tertarik dengan hasil foto yang terlihat di kamera digital. 

Di Kampung Barawai misalnya, ada sekelompok anak yang malu bicara. Jadilah saya mencoba memotret mereka, mereka mulai mau diajak berbicara, Hingga terakhir saya minta dihadiahi sebuah lagu sembari saya rekam.

Minta ampun, anak-anak ini begitu bersemangat menyanyikan banyak lagu dengan suara lantang. Saking banyaknya, saya dapat membuat sebuah album kompilasi.

Lain lagi saat saya berada di Kampung Asai. Pagi hari saya berkunjung ke Sekolah Dasar setempat. Seluruh anak-anak berada di halaman sekolah, sedang beristirahat karena satu satunya guru mereka sedang diwawancara oleh WWF Indonesia terkait pendidikan setempat. 

Kira-kira ada 30 orang anak yang terus membuntuti saya, berebut ingin masuk frame kamera. Siangnya, saya bermain ular naga dengan anak-anak ini. Bagi mereka permainan ini begitu baru dan sangat mengasyikkan. Bagi saya permainan ini bagai nostalgia di masa kecil yang tentu tak sibuk dengan permainan di gadget. 

Lucunya saat siang hari saya sedang berada di atas kapal Gurano Bintang milik WWF, anak-anak yang tadi saya ajak bermain menghampiri saya dengan perahu dayung mereka. Tiba-tiba saja mereka berteriak, "Kak, Kakak!"

Silvita Agmasari Anak anak dari Desa Asai, Papua.
"Ingin menonton televisi!" mereka bilang.

Saya sebut TV, mereka tertawa-tawa

"Tipis-tipis" kata mereka.

Ada yang heran saat melihat laptop di depan saya, dan ada juga yang bertanya gambar ikan apa yang begitu besar poster di kapal, yakni poster cara bersosialisasi dengan hiu paus.

Salah satu anak, Ronal begitu kegirangan saat saya ajarkan cara mengoperasikan laptop atau yang saya sebut juga komputer kecil yang pintar pada mereka. "Di kampung kami Pak Guru tak pakai ini," ujar Ronal.

Sampai Ronal begitu terkejut dari tekanan jarinya muncul tampilan jendela baru di layar laptop, apalagi saat laptop bisa menghitung dengan cepat dan tepat.

Silvita Agmasari Anak anak desa Samberpasi, Papua.
Di Kampung Samberpasi, saya justru menjadi artis dadakan. Semua anak tiba-tiba menghampiri saya dan mengamati saya dengan seksama sembari tertawa-tawa.

Tak lama saya mulai mendengar salah seorang anak berkata, "Itu dia kakak gigi kalung!".

Saya yang mendengarnya tertawa. Melihat saya tertawa, mereka tambah takjub. Ternyata bagi anak-anak Papua, kawat gigi adalah hal istimewa yang tak pernah mereka temui. Habislah hari itu dengan semua anak ingin melihat saya tersenyum memamerkan 'gigi berkalung' saya.

Tak memiliki sinyal provider handphone adalah suatu hal yang saya syukuri saat itu. Tapi saya tetap berharap pembangunan infrastruktur di kampung anak-anak ini. Agar mereka dapat tahu dunia luar, tak tertinggal dari teman-teman lainnya di kota besar se-Indonesia.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com