Kepenatan tubuh karena terbanting-banting selama perjalanan, niscaya akan terbayarkan dengan pemandangan yang dilewati. Dinding batu raksasa dari batuan karst, hutan yang masih hijau, burung-burung yang melintas, serta beberapa air terjun, sulit untuk tidak membuat kita kagum.
Apalagi jika telah tiba di Tiong Ohang atau Tiong Bu'u, dua kampung berhadap-hadapan yang hanya dipisahkan oleh Sungai Mahakam. Walau berada di bagian wilayah perbatasan dengan Malaysia dengan akses yang sulit, kampung ini begitu tertata.
Keramahan warga juga adalah sebuah sapaan yang menghangatkan. Sungguh kami jatuh cinta dengan suasana kampung ini. "Stigma soal orang Dayak yang menakutkan sirna saat kami diperlakukan dengan penuh rasa persahatan," ujar Ria Aziz Bazoeki, traveler wanita yang ikut rombongan kami.
Seperti pagi itu, kamera kami beradu merekam setiap moment yang ada. Dinamika warga Tiong Ohang dan Tiong Bu'u di tepi sungai pagi itu adalah sajian khas Indonesia, alam adalah sahabat.
Puluhan ces (sampan khas Dayak) terparkir di tepi, sementara beberapa lainnya hilir mudik. Para bocah menyibukkan diri dengan mandi di atas dermaga apung yang sekaligus tempat tambatan ces, atau di atas karangan (bebatuan).
Sementara para ibu, berjibaku dengan cucian mereka. Dan pria-pria dayak bersiap pergi ke ladang atau mengais rezeki dengan menebar jala. Tak sulit mendapat ikan di sini.
Generasi Terakhir Yang Tersisa
Saat tiupan angin mulai menghalau kabut di Diang Karing dan Diang Musing, dan berganti dengan semburat merona kala mentari terbit. Saat itu pula kehidupan lain terjadi di jembatan gantung yang menghubungkan Tiong Ohang dengan Tiong Bu'u.
Jembatan yang bergoyang jika dilewati ini, seolah menjadi penyaksi semangat bocah-bocah yang tadinya mandi di sungai untuk bergegas pergi ke sekolah mereka. Pendidikan bagi orang Dayak adalah kewajiban.
Di sini, walau berada di pedalaman, pendidikan hingga ke sekolah lanjutan atas telah tersedia. Dan menyaksikan mereka lalu lalang di jembatan gantung itu, adalah sebuah pemandangan yang sulit di dapat di daerah lain di Indonesia.
Apalagi latarnya adalah dinding batu karst dengan warna putih yang kontras dengan hutan di sekitarnya. Menyapa para bocah saat mereka bepergian ke sekolah ini, bagaikan menyampaikan ucapan semangat kepada para pewaris tradisi dan budaya.
Kabut pun lenyap, langit berubah menjadi benderang dengan warnanya yang biru tak berpolusi. Mega tersapu tipis dan membakar semangat kami melanjutkan eksplorasi kedua kampung ini.
Lalu kami pun tenggelam dalam kisah-kisah heroik para pendahulu Dayak Penehing saat melawan suku lainnya. Kisah yang tersisa dari tradisi ngayau yang telah sirna. Tradisi mempersembahkan kepala orang lain sebagai bantalan kala seorang dari golongan bangsawan meninggal.
Kisah-kisah yang kini hanya bisa dirasakan lewat motif-motif ukiran yang terserak di berbagai sudut kampung. Mulai dari anak tangga, tiang rumah, atap, terali, patung-patung, dinding kuburan, penutup kepala, tato, tas, gagang mandau, gendongan bayi dan terlebih di lamin adat.