KOMPAS.com – Alkisah, ratusan tahun lalu ada seorang raja di wilayah Toba. Konon, dia memerintahkan anak laki-laki semata wayangnya ikut berperang.
Tak disangka, sang anak meninggal di medan perang. Kesedihan pun melanda raja. Teramat dalam. Singkat cerita, raja terpukul hingga jatuh sakit.
Tentu saja seluruh warga kerajaan ikut berduka. Namun, mereka lalu tergerak untuk menyemangati sang raja. Dibuatlah patung dengan rupa yang mirip anak raja.
Setelah patung selesai dibuat, tetua adat menggelar upacara. Dalam prosesinya, dia meniup sordam, alat musik Batak Toba berupa seruling panjang yang terbuat dari bambu.
Perlahan, patung kayu itu ikut bergerak seirama dengan alunan sordam. Ia menari tanpa ada yang menggerakkan. Tetua adat percaya, roh sang anak terpanggil lewat media patung kayu dan alunan lagu.
Inilah hikayat Manggale, nama si anak raja itu, kisah di balik legenda patung sigale-gale. Patung tersebut kini menjadi warisan budaya Batak.
Namun, kisah tersebut tak berhenti di situ. Patung sigale-gale sudah menjadi salah satu ikon budaya setempat. Bahkan, pada Jumat (9/9/2016), patung sigale-gale tampil gagah, meski tak ada warga Batak meninggal dunia.
Bak peziarah
Pada hari itu, dua patung sigale-gale dengan penutup kepala berwarna hitam dan kain ulos lengkap, sengaja digerakkan. Kedua patung terlihat menari tor-tor diiringi alunan melodi sordam, sembari melangkah.
Penampilan tersebut terjadi dalam pembukaan Festival Danau Toba (FDT) 2016 di Muara, Tapanuli Utara. Seiring zaman, patung sigale-gale memang telah menjadi ikon wisata Kawasan Danau Toba. Dalam FDT 2016, kedua patung itu tampil justru untuk menyambut para tamu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.