KOMPAS.com – Duduk bersimpuh, seorang pemuda meletakkan surat wasiat di lantai. Ia kemudian melepaskan pakaian dan mengambil pedang katana untuk dihunjamkan ke sisi perut, lalu terdiam dalam posisi itu sampai mati.
Betul, itu adalah penyederhanaan prosesi harakiri atau seppuku—bunuh diri khas Jepang—yang lebih sering dilakukan para samurai. Biasanya orang yang memilih seppuku telah kehilangan kehormatan akibat melakukan kejahatan, aib, atau merasa gagal menjalankan tugas.
Pada akhir Perang Dunia II harakiri juga menjadi pilihan bagi tentara Jepang, sebagai pasukan yang kalah perang. Mereka merasa lebih baik mati terhormat—berdasarkan budaya Jepang—daripada menjadi tawanan musuh atau pulang dengan kekalahan.
Namun, hal itu tak dilakukan Teruo Nakamura, prajurit Jepang yang berperang di Morotai, Maluku Utara. Pulau ini merupakan salah satu tempat strategis yang diperebutkan Jepang dan Sekutu selama Perang Dunia II.
Pada 15 September 1944 pasukan Sekutu menyerang tentara Jepang di Morotai. Singkat cerita, dengan jumlah pasukan yang lebih banyak, Sekutu menaklukkan Jepang dan menjadi penguasa baru di sana.
Saat itu, Nakamura memilih kabur dan berlindung di pedalaman hutan Morotai. Selama 30 tahun sesudahnya, dia tidak tahu bahwa rezim dan zaman sudah berubah. Bahkan dia tidak tahu bahwa Perang Dunia II telah lama usai.
Konon menurut cerita warga setempat, Nakamura tinggal di gubuk kayu beratap rumbia ukuran 2x2 meter persegi. Ia tidur beralaskan kayu melengkung yang rencananya juga akan dia gunakan untuk membakar diri bila sudah merasa benar-benar tak berdaya di tengah hutan.
Keberadaan Nakamura baru terungkap pada akhir 1974. Warga Desa Pilowo bernama Luther Goge, melaporkan keberadaan Nakamura kepada kepolisian setempat. Namun, saat hendak dipulangkan ke Jepang, terungkap bahwa Nakamura bukan warga negara Jepang.
Nakamura ternyata asli orang Taiwan yang saat Perang Dunia II dimasukkan ke Unit Sukarela Takasago dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
Mungkin juga itu alasan kenapa Nakamura tidak melakukan harakiri layaknya prajurit Jepang yang kalah berperang.
Jadi lekat dengan Morotai
Kisah nyata Nakamura tak berhenti pada 1974. Pelarian dan persembunyiannya justru menginspirasi banyak orang. Belakangan, Nakamura malah jadi salah satu ikon wisata Morotai.
Untuk mengenang kisah di atas, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai membangun Monumen Teruo Nakamura di Desa Deheglia. Wisatawan pun bisa menelusuri jejak pelarian Nakamura dengan mengunjungi monumen itu.
“Kalau tempat istirahat Nakamura ada di batu alam yang bernama Kokota Rifer. Posisinya ada di atas air terjun dan dia sering bakar udang dan ikan di situ.” papar Muhlis Eso.
Tak cuma tempat istirahat, Muhlis pun kembali bercerita, Kokota Rifer adalah bukti dahsyatnya serangan tentara Sekutu di Morotai.