Malam itu kami harus antre di belakang tujuh pembeli lain yang beberapa memesan lebih dari satu macam. Sambil memperhatikan Ari memasak di atas anglo, kami nyemil kerupuk rambak.
Ia terlebih dahulu menumis bumbu-bumbu lalu memasukkan telur mentah sambil tetap mengaduk-aduknya lantas menambah air ke dalam wajan. Setelah mendidih, ia mulai memasukkan nasi lalu mi.
Jadilah sego godhog yang kemudian kami santap sambil menyaksikan hujan yang turun konstan mengguyur bumi. Jalanan di depan kami sepi. Hanya ada satu dua orang yang berjalan cepat sambil berpayung.
Ari pun bercerita, mereka sudah tiga kali berpindah tempat. Lokasi terakhir adalah di Jalan Sriwijaya. Suaminya termasuk salah satu pedagang yang memulai memperkenalkan menu sego godhog.
Ia sudah 20 tahun berjualan. Kini, pesaing tambah banyak. Itu sebabnya keduanya konsisten memenuhi permintaan pelanggan satu per satu untuk menciptakan ikatan kesetiaan.
Jika semula sang suami adalah koki utama, Ari kini mulai memegang peran sebagai pembuat hampir semua pesanan. Sang suami tinggal membuat minuman atau mondar-mandir membeli bahan-bahan yang habis di tengah jalan.
Salah satu kelebihan mencicipi makanan jalanan adalah seperti ini, mendapat bonus cerita dari sang pemilik warung. Dan suapan terakhir sego godhog pun menutup kisah malam itu…. (REGINA RUKMORINI/SRI REJEKI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2017 di halaman 31 dengan judul "Menu Hangat di Kaki Tidar".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.