Itu berarti, si supir dapat mendapatkan uang sekitar Rp 2 juta sekali jalan ke Pegunungan Arfak. Harga yang wajar, mengingat medan yang ditempuh cukup jauh dan sangat berisiko.
“Sa asli dari Makassar, tidak kelihatan, toh?” ujarnya di sela-sela perjalanan. Bang Yos, sapaan akrabnya, sudah 7 tahun menetap di Manokwari dan bekerja sebagai supir angkutan umum menuju Kabupaten Pegunungan Arfak.
Ia tidak sendirian, karena nyatanya banyak pendatang yang satu profesi dengannya. Sebut saja teman sedaerahnya, Burhan dan Ula. Bisa dikatakan, mereka mencoba memanfaatkan peluang di pulau seberang, di saat perkembangan pembangunan infrastruktur jalan terkesan lamban.
Kekosongan dalam perjalanan diisi dengan percakapan antara saya dan Bang Yos. Tentang kebiasaan masyarakat Pegunungan Arfak, hingga tempat menarik yang terdapat di sana.
Sampai akhirnya, Danau Anggi Giji pun terlihat. Pertanda saya sudah sampai di Kabupaten Pegunungan Arfak. Terletak di atas pegunungan, membuatnya terlihat bak oase di tengah padang ilalang.
Dikelilingi perbukitan di kanan-kirinya, membuat kagum siapapun yang datang. Sayang, tempat ini seperti kurang dilirik wisatawan sebagai obyek wisata yang patut dikunjungi.
Dalam sebuah perjalanan memang tidak melulu soal destinasi wisatanya, melainkan terdapat pula kisah-kisah menarik yang dapat diceritakan. Nyatanya, terdapat pihak yang diuntungkan dari lambannya pembangunan infastruktur jalan di Papua Barat.
Tarif yang cukup mahal tentu menjadi peluang kerja yang sangat menarik bagi para pendatang dari pulau seberang.
(Artikel dari anggota Tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, M. Rifqi Herjoko. Artikel dikirimkan langsung untuk Kompas.com di sela-sela kegiatan Ekspedisi Bumi Cenderawasih di Papua Barat)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.