KOMPAS.com - “Kejarlah ilmu hingga ke Negeri Cina,” begitulah pepatah yang kita kenal. Pepatah tersebut rupanya bukan isapan jempol.
Nasi yang telah menjelma pangan pokok sehari-hari sebagian besar orang Indonesia pun ternyata tak dapat dilepaskan dari ilmu-ilmu kuno Negeri China.
Memang, padi tidak seperti kedelai yang keberadaannya “diimpor” dari China. Sebelum dibudidayakan oleh orang-orang Tionghoa di era kolonial, padi hanya dimanfaatkan secara subsisten yaitu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
Budidaya padi baru dikenal usai dipraktikkan oleh orang-orang Tionghoa, sejauh sejarah mencatat, di Banten pada awal abad ke-17.
Dikisahkan seorang Belanda, Edmund Scott dalam laporannya di tahun 1603-1604, keberadaan petani-petani China di Banten telah memulai metode budidaya padi dan lada untuk kebutuhan yang lebih luas.
“Orang-orang Tionghoa menanam, memupuk, sampai memanen tanaman lada dan padi,” tulisnya kala itu.
Scott menyebut, lada sangat laku sebagai komoditas ekspor. Sementara, padi dipakai untuk konsumsi seluruh kota.
Laporan Scott tersebut tertulis dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid 2: Jaringan Asia) yang edisi terjemahannya terbit di Indonesia pada 1996, karya Denys Lombard.
Lombard yang banyak mengkaji sejarah negeri-negeri Asia itu bercerita, orang-orang Tionghoa zaman itu bukan pemegang monopoli, melainkan motor penggerak yang membawa teknik-teknik baru yang jauh lebih efisien.
Di abad ke-18, petani China mulai memperkenalkan metode penyemaian dalam baris-baris, agar petani dapat membersihkan rumput di sawah menggunakan bajak.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.