MAGELANG, KOMPAS.com - Candi Mendut yang berlokasi di Mungkid, Magelang, Jawa Tengah bisa menjadi pilihan wisata sesudah Candi Borobudur.
Jika menelusuri lebih jauh, ada banyak cerita menarik di Candi Mendut, salah satunya atap.
Tak banyak yang tahu, candi yang dulu candi yang dibangun pada 824 M ini sempat memiliki atap.
Namun, menurut tim ahli penyusun narasai legenda Borobudur Louie Buana, Candi Mendut kini kehilangan atapnya.
Baca juga: Kolaborasi dalam Roro Mendut
Konon, bentuk dari atap Candi Mendut mirip dengan stupa yang naik ke atas.
"Jadi bentuk Candi Mendut ini sebenarnya kalau kita lihat dari atas, dia itu menyerupai yang namanya bajra yang berarti genta atau lonceng," kata Louie kepada Kompas.com.
"Nah, atapnya dulu memang ada, namun tidak jadi terpasang, karena batunya kurang, ada batu yang hilang," lanjutnya.
Louie menambahkan, genta atau lonceng biasanya digunakan oleh pendeta agama Hindu di Bali. Selain itu, dalam bahasa Sansekerta bajra diartikan sebagai kilat atau petir.
Baca juga: Tips Memotret Relief Candi Borobudur untuk Dapatkan Foto Terbaik
Tak hanya itu, bajra juga digunakan sebagai senjata dari Betara Indra atau Dewa Petir.
Louie melanjutkan, uniknya nama Dewa Indra sama dengan nama raja yang mendirikan Candi Mendut yaitu Raja Indra.
Cerita lain yang menarik di Candi Mendut adalah Makara yang terletak di samping tangga menuju ke dalam.
"Jadi Makara ini adalah hewan hybrid. Di mitologi Yunani, ada yang namanya Khimaira, kalau di kita ini namanya Makara," ujar Louie.
"Makara dipercaya sebagai kendaraannya Dewi Gangga," jelas Louie.
Louie mengatakan, fungsi dari Makara ini adalah sebagai penjaga paling depan Candi Mendut. Hal ini lebih membicarakan hal spiritual.
Baca juga: Wisata Baru di Candi Borobudur
Makara dipercaya oleh orang-orang zaman dulu telah disuwuk (bahasa Jawa) atau diberi kekuatan gaib, sehingga saat ada energi negatif yang hendak masuk Candi Mendut, maka akan terpental dengan sendirinya.
Nah, di bawah Makara terdapat sebuah arca yang mirip kurcaci dan diketahui bernama Gana.
Baca juga: 5 Kuliner Lezat dari Yunani, Negeri Para Dewa
Sebelum masuk ke ruangan utama candi atau Garbo Griya, wisatawan akan menemukan dua relief yang begitu unik dan sarat akan cerita inspiratif. Istimewanya, relief ini hanya terdapat di Candi Mendut.
Kedua relief ini mengisahkan dua cerita dari dewa dewi berbeda--Dewi Hariti dan Dewa Kuwera.
Louie menguraikan, cerita Dewi Hariti hanya ada di dalam tradisi agama Budha.
Baca juga: Mampir ke Candi Cetho, Candi Hindu di Lereng Gunung Lawu
Lanjutnya, sebelum menjadi seorang ibu yang baik, Hariti merupakan seorang raksasa perempuan yang jahat.
"Dia dulu suka makan anak kecil, hingga suatu hari ketika mencari anak kecil di suatu desa, ia bertemu dengan Sang Budha. Ketika bertemu, Sang Budha mengatakan bahwa Hariti jangan memakan anak kecil, melainkan makan dirinya saja," kata Louie.
"Kemudian, Hariti mencoba memakan Sang Budha, namun tak bisa, lalu tersangkutlah sang Budha di tenggorokan Hariti, dan Hariti meminta pengampunan serta berjanji tidak akan makan anak kecil lagi," lanjutnya.
Hariti meminta agar dilahirkan sebagai seorang yang menyayangi anak kecil.
Permohonan itu dikabulkan Sang Budha dan hingga kini umat Budha menjadikan Hariti sebagai media doa bagi mereka yang susah memiliki keturunan.
Baca juga: Menikmati Matahari Terbit dengan Latar Candi Borobudur Berkabut, Indahnya...
"Selain itu, dia juga sebagai lambang keharmonisan keluarga," lanjutnya.
Beralih dari cerita Dewi Hariti, relief berikutnya yang istimewa adalah relief Dewa Kuwera yang tak lain adalah suami dari Dewi Hariti.
Perbedaannya dengan Dewi Hariti, relief ini diceritakan kembali dalam tradisi Hindu. Tradisinya, Kuwera dipercaya sebagai dewa yang menjaga kekayaan dunia.
Kemudian dia bertemu dengan Sang Budha dan minta didoakan agar dilahirkan kembali menjadi seorang bapak yang mencintai anak-anak.
Baca juga: Candi Borubudur dan Efek Domino ke Pariwisata Magelang
Louie menjelaskan, arti yang hendak disampaikan pembuat relief ini sebenarnya untuk membawa pesan bahwa sebelum masuk ke ruangan utama candi, siapa pun harus menyelesaikan kehidupan pribadi dan keluarga.
"Ini sebenarnya nilai-nilai dasar, sebelum orang menjejakkan kaki menuju ke jenjang spiritualitas yang lebih tinggi, mereka sudah harus rampung terlebih dulu dengan urusan rumah tangga dan segala macamnya," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.