Kebetulan, sawah Suradi baru panen. Hasilnya cukup lumayan. Sawah 1 hektar bisa menghasilkan 3 ton gabah. ”Meskipun hasilnya tak sebanyak di Jawa, ini sudah cukup bagus,” ujar pria ceking, yang wajahnya dihiasi keriput, dengan logat Jawa yang masih kental, itu.
Lelaki asal Yogyakarta itu adalah generasi pertama tahanan politik kelas B atau tidak pernah diadili, yang semena-mena dibuang ke Buru. Pulau tersebut terletak di barat laut Laut Banda, yang hanya dapat dicapai dengan kapal cepat selama empat jam dari Ambon atau semalam dengan kapal feri.
Suradi ditangkap tahun 1965 dan dijebloskan di Lembaga Pemasyarakatan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari sana, ia dipindah ke Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sebelum dibawa ke Pulau Buru. Waktu itu, usianya 19 tahun, dan Suradi tak paham, bagaimana dirinya yang hanya pegawai sipil rendahan di Kesatuan Angkatan Udara Republik Indonesia Maguwo dikaitkan dengan organisasi terlarang itu.
Di bukunya, Tahanan Politik Pulau Buru, tahun 2001, Ig Krisnadi menulis, penangkapan besar-besaran mereka yang disangka terlibat PKI dan sayapnya membuat rumah-rumah tahanan di Indonesia sesak. Rezim Orde Baru mencoba mengatasi dengan merancang program pemukiman kembali di luar Pulau Jawa. Salah satunya di Pulau Buru, dengan nama instalasi rehabilitasi. Konon, pulau tersebut pernah diteliti sebagai lokasi transmigrasi. Pemerintah saat itu berniat menghemat biaya dengan mengembangkan lokasi lewat tenaga para tapol.
”Menyulap” bukit cadas
Saat itu, menurut Suradi, Pulau Buru benar-benar masih ”perawan”. Hutan-hutan di sekelilingnya sangat lebat. Batang pohonnya berukuran sangat besar. Pengamatan Kompas, lembah Sungai Waeapo waktu itu seperti ”penjara alam”, topografinya cekungan tanah, yang dikurung bukit karang bersambungan.
Di bawah moncong bedil tentara, para pemuda yang divonis bersalah tanpa lewat pengadilan menjalani hukuman seperti romusha pada zaman Jepang. Selain barak untuk tempat tinggal mereka, mereka juga membangun barak rumah para tentara.
Awalnya, mereka membangun sembilan permukiman. Kemudian, menjadi 22 unit yang tersebar di lembah itu. Setiap unit terdiri atas belasan barak yang dihuni 500-1.000 tapol.
Infrastruktur jalan juga dibangun untuk menghubungkan satu unit ke unit lain meskipun pengerjaannya hanya dengan cangkul, dan gergaji. Para tapol juga merombak hutan sagu dan padang sabana jadi pertanian, membangun saluran air bersih dan saluran irigasi, serta membangun jembatan hingga pintu air. Untuk mengerjakannya, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok. Misalnya, ada yang mengolah garam, membuat gula merah, hingga menjadi pandai besi.
Pramoedya Ananta Toer, penyair yang juga eks tapol Pulau Buru, menuliskan dalam novelnya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995). Ia berkisah, para tapol tidak hanya berjasa membuka lahan di dataran rendah dekat ceruk Sungai Waeapo, tetapi juga membongkar hutan di lereng bukit dan menjadikannya sawah tadah hujan.
Aktivitas massal para tapol cukup mencolok di kalangan penduduk asli Buru di sekitar lokasi penampungan yang saat itu berjumlah ratusan jiwa. Saat itu, penduduk lokal hidup berburu, berhuma, dan mencari sagu. Interaksi dengan para tapol Buru yang peradaban jauh lebih maju mengubah hidup mereka. Abdullah Mukadar, tokoh masyarakat Pulau Buru, mengatakan, awalnya, rumah-rumah orang Buru di pedalaman memakai pelepah sagu. ”Setelah melihat para tapol buat rumah, mereka mulai membangun rumah dengan papan,” ujarnya.
Sekretaris Desa Savanajaya Wasimun Suwardi, yang juga anak eks tapol, mengatakan, sejak tahun 2006, Kecamatan Waeapo merupakan lumbung padi Kabupaten Buru, selain menjadi cadangan pangan.
Menyusuri lembah Waeapo, kini bukan hanya semilir angin dan gemercik air, melainkan tempat lahirnya peradaban baru yang dibangun lewat cucuran darah, air mata, dan keringat.
(Gregorius Magnus Finesso/M Clara Wresti/A Ponco Anggoro)