Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (83): Pak Kumis

Kompas.com - 26/11/2008, 07:29 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Bunyi terompet dan tetabuhan bersahut-sahutan, seolah memaksa pinggul untuk bergoyang mengikutinya. Padang pasir yang muram, setahun sekali berubah menjadi pasar raksasa yang gegap gempita. Pushkar larut dalam kemeriahan festival.

Inilah hari yang telah lama ditunggu-tunggu – Kartik Purnima, puncak dari semua hiruk pikuk di Pushkar sejak dua minggu terakhir. Lagu Bollywood berdentum-dentum dari pengeras suara. Nyaring, sumbang, memekakkan telinga.

Sekelompok pria dan wanita berdiri di depan sebuah kotak mungil. Di dalam kotak itu ada panggung, beberapa deret bangku panjang, dan seorang penari berjoged, berlenggak-lenggok mengikuti dentuman lagu Aashiq Banaya – lagu film India yang sedang hits di negeri ini. Pinggul sang penari berguncang dahsyat. Penonton di luar pagar hanya berdiri, tertegun, menenggak ludah.

Tak sampai tiga menit, tiba-tiba layar merah menutup panggung. Penonton yang di luar pagar hanya bisa mendengus kecewa. Lagu romantis Aashiq Banaya terus menggelegar, dan seorang pria berhalo-halo dengan mikrofon, “Saksikanlah! Saksikanlah pertunjukan istimewa ini!”

Pertunjukan akan diadakan nanti sore. Karcisnya cuma 5 Rupee. Yang perempuan melenggak-lenggok selama tiga menit tadi cuma trailer, siaran ekstra yang akan bisa ditonton dalam pertunjukan akbar di dalam kotak mungil itu. Bukankah inovatif cara mereka mencari uang?

Sore hari, suasana padang pasir Pushkar sudah meriah bak pasar malam. Roda raksasa bianglala berputar melambung ke angkasa, para pengunjung berteriak girang. Dari atas sana mereka bisa melihat seluruh Pushkar terhampar. Turis pun tak kalah girangnya. Selain merasakan safari unta berkeliling padang, mereka pun punya tontonan lain yang membuat kunjungan ke Pushkar ini tak terlupakan.

Lautan manusia merambah jalanan sempit kota kuno, yang seketika berubah menjadi mozaik dengan semburat beragam warna. Bunyi terompet bersahut-sahutan, arak-arakan manusia berdandan seperti dewa dielu-elukan. Dari Rama dan Shinta sampai dandanan dewa berjenggot putih mirip Neptunus dari dasar lautan. Ada Hanuman, bocah dewa yang tak pernah lepas dari seruling, sampai dewa Vishnu berkulit biru. Semua mengangkat tangan kanan dengan ibu jari melipat telunjuk, posisi orang suci memberkahi. Lusinan perempuan dengan pakaian berwarna menyala menyangga kendi di kepala.

Parade ratusan manusia dalam berbagai kostum dan aksi berparade keliling kota, melewati semua kuil kuno. Di belakangnya turis bule yang antusias mengikuti acara “Spiritual walk” ini, kegiatan jalan-jalan keliling kota dengan pawai karnaval yang dikoordinasi Rajasthan Tourism Board, tentunya lebih ‘turisme’ ketimbang ‘spiritual’.

Mereka berangkat dari lapangan di padang, keliling lintasan lima kilometer, sampai kembali lagi ke padang yang sudah ramai. Bocah-bocah yang didaulat menjadi dewa-dewi itu tampak kepanasan diterjang matahari, lebih banyak cemberut daripada tersenyum. Di sini sudah diselenggarakan berbagai macam lomba, misalnya lomba kriket internasional, antara orang India dengan turis asing. Ada pula lomba turis bule memasang surban atau sari. Tetapi yang paling menarik adalah pemilihan Mister Gurun.

Di padang pasir Rajasthan, kumis dianggap sebagai perlambang kegagahan, ketampahan, dan ketampanan. Yang akan menjadi juara Mister Gurun di festival Pushkar haruslah pria yang berkumis panjang. Dalam arti harafiah, kumis ‘panjang’ mencapai empat meter, diplintir rapi, digulung, kemudian dilekatkan di pipi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com