KOMPAS.com — Perjalanan ke hulu terhambat. Dua tongkang mengangkut bauksit melintang di alur Sungai Carang-Hulu Riau yang sempit. Tiga kapal cepat yang ditumpangi rombongan peserta Arung Sejarah Bahari IV/2009 untuk ”ziarah” ke sejumlah situs bersejarah di sekitar Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, akhirnya harus menepi di sisi luar kawasan hutan bakau yang rimbun menyemak.
Alamak! Kurang dari 10 menit perjalanan dari muara Sungai Carang, beberapa menit setelah kapal motor bertolak dari Pelantar III—tempat tambatan kapal motor (pompong) tak jauh dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang—ternyata masih ada kawasan hutan bakau yang relatif masih terjaga. Letaknya pun masih di wilayah pusat kota, persisnya berada di Kelurahan Bugis, Kecamatan Tanjung Pinang Kota.
”Kalau saja bisa dikembangkan sebagai kawasan wisata ekologi dan dipadukan dengan wisata sejarah, dengan memanfaatkan sejumlah situs sisa peninggalan Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga yang ada di sini, wah, pasti memukau,” ujar salah satu mahasiswa peserta Arung Sejarah Bahari IV/2009, akhir Juli lalu.
Di tengah keprihatinan semakin banyak hutan bakau di daerah ini yang ”hilang”, kawasan hutan bakau yang tersisa di Kampung Bugis itu sedikit melegakan. Tapi itu bukan tanpa kekhawatiran. Perluasan wilayah kota yang terus berkembang, aktivitas penambangan bauksit yang tak juga reda dan membutuhkan dermaga-dermaga untuk tongkang pengangkut hasil tambang itu menuju kapal penampung yang ”lego jangkar” di perairan dalam, merupakan ancaman serius bagi keberadaan hutan bakau di wilayah ini.
Secara keseluruhan, kawasan hutan bakau di wilayah Kota Tanjung Pinang, semula tercatat sekitar 2.500 hektar, tersebar di tujuh titik. Namun, sebagian besar kawasan yang seharusnya dilindungi keberadaannya—sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta peraturan daerah setempat yang mengatur tentang kelestarian dan keseimbangan alam—itu sudah beralih fungsi. Sebutlah seperti kawasan di sekitar Pantai Impian dan Berkat Bestari yang kini jadi perumahan atau di beberapa tempat lain yang sudah dijadikan pertokoan dan galangan kapal.
Saat ini, kawasan hutan bakau yang masih tersisa itu umumnya sudah dikuasai oleh berbagai pihak, baik perusahaan maupun perorangan. Bentuk penguasaannya pun bahkan ada yang sudah berdasarkan sertifikat kepemilikan selain masih berupa alas hak, yakni semacam surat pengakuan hak atas tanah dari pihak kelurahan. Pemerintah Kota Tanjung Pinang sendiri menguasai kurang dari 10 hektar lahan hutan bakau di kawasan situs Istana Kota Lama untuk dilestarikan.
”Soal bagaimana sertifikat ataupun surat alas hak itu bisa ada, ini yang harus ditelusuri,” ujar Abdul Kadir Ibrahim, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang. ”Sebab, kalau mengacu ke UU Kehutanan—yang tentunya harus ditegakkan—mestinya keberadaan hutan bakau itu dilindungi,” tambahnya.
Kota Tanjung Pinang sendiri baru menjadi daerah otonom sejak 2001. Sebelumnya, Tanjung Pinang adalah bagian dari wilayah Kabupaten Kepulauan Riau (sebelum resmi menjadi provinsi pada 2004) dan sekaligus sebagai ibu kota kabupaten tersebut.
Menyusuri sungai
Tentu bukan karena gumaman seorang mahasiswa peserta Arung Sejarah Bahari IV/2009, kalau kemudian terungkap, kini Pemerintah Kota Tanjung Pinang tengah merancang pengembangan hutan bakau dan lingkungannya menjadi obyek wisata baru bagi kota tersebut.