Apalagi pada Minggu (14/7/2013) siang itu adalah Bulan Ramadhan. Ia dan belasan bocah seperti dirinya yang menjadi bagian dari rombongan tur sedang dalam kondisi berpuasa. Meski demikian, Fian mengaku sangat senang mengikuti tur menjelajahi wilayah Cikini tersebut yang digelar oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI).
"Senang karena belum pernah ke sini. Jadi tahu," tutur Fian seraya menunjukkan wajah sumringah, menyamarkan kelelahan yang juga tergurat di wajahnya.
Tak hanya bocah-bocah seperti Fian, peserta tur juga terdiri dari para pemuda bahkan dewasa dengan memiliki misi yang sama yaitu mengulik kisah lain diantara jajaran bangunan di kawasan Cikini. Konon, pada masanya, bangunan ini memiliki peran penting. Baik bagi kepentingan negara maupun sebagai pusat kegiatan masyarakat.
Wilayah Cikini juga, lanjut Asep, menjadi wilayah yang sering dilewati oleh banyak orang. Namun banyak yang mengacuhkan. Padahal jika diselidiki, banyak hal unik yang dapat dipelajari dari wilayah tersebut.
"Cikini itu sendiri memang masih banyak bangunan bersejarah. Dia masih satu wilayah dengan Menteng. Tapi Cikini lebih kurang terekspos dibandingkan Menteng," ujar Ketua Panitia Pelaksana Jakarta Heritage Trails: Ngaboeboerit Ke Tjikini, Aryo B Saleh.
Beberapa foto serta tulisan yang menjelaskan keterangan pun dilapisi dengan kaca yang dipajang menggantung. Tak sampai disitu, ruang pameran juga termasuk sebuah garasi kaca yang ada di belakang gedung utama museum. Yang tersimpan di garasi bukan sekadar mobil biasa. Melainkan tiga buah mobil antik yang pernah digunakan oleh para pemimpin negara, Soekarno dan Muhammad Hatta.
Beranjak dari Museum Joang 45, tempat singgah selanjutnya adalah Toko Roti Tan Ek Tjoan. Namun sebelumnya, melewati Kantor Pos Cikini yang pada masa silam, sempat menjadi penyambung informasi bagi masyarakat ke seluruh penjuru. Serta menyusuri depan pertokoan Cikini dengan gaya bangunan yang masih kuno.
Namun para peserta tetap dapat melongok dapur produksi roti. Di dalamnya tersimpan perkakas pembuat roti yang jika dilihat dari tampilannya telah berusia cukup tua. Namun sunguh hebat, alat-alat tersebut masih berfungsi dengan baik memproduksi ribuan roti setiap hari.
Perjalanan selanjutnya melewati Taman Ismail Marzuki yang memiliki teater ruang angkasa Planetarium, sekolah yang telah ada sejak masa kolonial yakni SMP N 1 Cikini dan Perguruan Cikini. Rumah makan Indonesia dengan kualitas nomor wahid, Oasis, hingga tiba di Rumah Sakit PGI Cikini.
Bukanlah rumah sakit yang menjadi objek perhatian dalam perjalanan, melainkan rumah megah yang ada di halaman belakang rumah sakit. Siapa nyana, rumah bergaya Eropa itu dulunya adalah rumah tinggal maestro lukis kenamaan, Raden Saleh.
"Gedung ini usianya lebih kurang 150 tahun dibuat oleh Raden Saleh sendiri saat beliau pulang dari Eropa. Rumah ini bergaya Jerman dan Belanda karena dia tinggal lama di dua negara itu," ujar Humas RS PGI Cikini, Rosi.
Perjalanan memakan waktu lebih dari tiga jam tersebut berakhir di Masjid Al Ma'mur. Di sini juga menjadi tempat rehat para peserta sambil menyantap hidangan berbuka puasa yang disediakan oleh panitia.
Meski tampak kelelahan di wajah para peserta, namun mereka tetap terlihat antusias mendengarkan Asep Kambali berbagi sekilas kisah sejarah tentang rute yang dilalui.
Ya, sejarah memang bisa dipelajari melalui berbagai hal. Tak hanya terpatok pada buku teks yang disediakan di sekolah. Meski, kata Asep, untuk belajar sejarah harus dimulai dengan membaca. Namun untuk terjun langsung ke tempat bersejarah juga tak kalah penting. Sebagai aplikasi apa-apa yang telah dipelajari pada buku teks.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.