Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/10/2013, 14:04 WIB
FAJAR menyingsing saat kapal yang kami tumpangi lego jangkar di dekat dermaga Pelabuhan Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Kapal kami tidak bisa merapat ke dermaga karena sudah bersandar terlebih dahulu Kapal Motor Penumpang Tidar berkapasitas 6.000 penumpang tujuan Ambon sampai Jakarta yang tengah memuat penumpang dan barang.

Tim Ekspedisi Sabang-Merauke: ”Kota dan Jejak Peradaban” Kompas pun melompat ke sekoci yang siap mengantar dari Kapal Navigasi Bimasakti Utama ke dermaga. Tak lama kemudian kami pun sudah membaur dengan ribuan orang yang tergesa-gesa menyesaki jalan dari kota menuju pelabuhan.

Berburu mutiara berkualitas tinggi dengan harga miring menjadi agenda utama kami selain berkeliling kota Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru. Maklum, kami sudah mendengar kisah keindahan mutiara Kepulauan Aru sejak singgah di Larat, Maluku Tenggara Barat, sampai Kota Tual, tiga hari sebelumnya.

Kota Dobo terbilang ramai. Puluhan rumah makan dan toko-toko berdiri di sepanjang Jalan Kapitan Salangi yang menghubungkan pusat kota dan pelabuhan.

Arus lalu lintas diatur satu arah agar jalan selebar empat meter tidak disesaki kendaraan. Kami berjalan kaki sebentar sekitar satu kilometer sampai menyetop angkutan kota di dekat gedung Sekolah Dasar Negeri 1 dan SDN 2 Dobo.

Kami pun menyapa sopir angkutan kota ini, namanya Alo Jamlean. Ternyata dia pemain sepak bola profesional klub Divisi Utama Persatuan Sepak Bola Kaimana, Papua Barat. Alo, yang sedang berlibur di kampung halamannya, mengantar kami melihat Bandara Rar Gwamar, kompleks perkantoran pemerintah Kepulauan Aru, gedung DPRD Kepulauan Aru yang meniru kubah gedung MPR/DPR/DPD di Senayan, dan pasar tradisional.

Perjalanan mengelilingi Dobo juga membawa kami ke kampung pelajar, tempat anak dari luar Dobo tinggal selama menuntut ilmu, di Desa Wangel, Kecamatan Pulau-Pulau Aru.

Lokasinya tidak jauh dari pantai Kora Evar yang menawarkan keindahan empat batu karang dan dipagari pohon kelapa di tepi pantai.

Demam mutiara

Seusai menikmati kelapa muda yang segar, kami kembali memburu mutiara. Kepulauan Aru identik dengan mutiara sehingga gugusan kepulauan di Laut Arafuru ini dijuluki ”Nusa Mutiara”.

Namun, semua itu kini tinggal cerita. Pemilik perusahaan mutiara UD Gensus Pearl di Dobo, Benni Retanubun (48), menuturkan, sekarang sulit menemukan warga mencari mutiara di laut. Semua mutiara kini merupakan hasil budidaya.

Ini dibenarkan tokoh pemuda Aru, Karel Labok. Sebelum tahun 1990-an, warga dapat menabung dengan menyelam ke dasar laut mencari mutiara.

Demam mutiara membuat investor masuk ke Aru dan mendirikan puluhan perusahaan budidaya mutiara. Warga pun tak mampu bersaing dan memilih mencari ikan saja.

Namun, kata Benni, kejayaan budidaya mutiara tidak berlangsung lama di kepulauan Aru. Wabah penyakit menyerang tahun 1992 sehingga sebagian besar kerang mutiara di Aru mati.

Banyak perusahaan yang gulung tikar dan kini tersisa sekitar tujuh perusahaan kecil saja. Yang paling besar tinggal PT Nusantara Pearl. Beberapa perusahaan merelokasi bisnis budidaya kerang mutiara ke Kota Tual dan Saumlaki, Maluku Tenggara Barat.

Kemilau mutiara Aru tampaknya mulai meredup. Keberadaan mutiara Aru juga semakin terancam dengan membanjirnya mutiara air tawar asal China yang dijual sepersepuluh dari harga mutiara Aru. (M Hilmi Faiq/ Hamzirwan/Gatot Widakdo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com