Dia tinggal bersama dengan istrinya yang juga dalam keadaan sakit serta satu anak perempuanya. "Istri saya juga sakit, anak perempuan saya juga tidak bisa aktivitas normal. Jadi ya ndak ada yang kerja," katanya.
Sehari-hari keluarga Senari menggantungkan hidup pada kakak perempuan Senari yang bekerja sebagai buruh tani. Tidak banyak yang mengetahui jika Senari adalah penyalin Lontar Yusuf, tradisi yang turun temurun berkembang di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Lontar Yusuf sendiri merupakan kitab bertuliskan huruf Arab dengan bahasa Jawa Kuno yang biasanya dibacakan semalam suntuk saat hajatan pernikahan ataupun khitanan oleh puluhan orang secara bergantian selama semalam suntuk.
Kepada Kompas.com, Senari mengaku menyalin Lontar Yusuf sejak ia masih bujang dan sudah tidak ingat lagi berapa jumlah Lontar Yusuf yang ia salin. "Pokoknya saya nulis sebelum tahun 1965. Sudah lupa berapa ratus lontar yang saya tulis. Yang pesan biasanya ya orang-orang sini saja tapi ada yang pesan dari luar Banyuwangi seperti dari Kalimantan sama Sumatera," jelasnya.
Untuk menyalin Lontar Yusuf, Senari mengaku memerlukan waktu sekitar satu bulan. Ia menyalin lembar per lembar dari Lontar Yusuf yang ia miliki di atas kertas putih dengan menggunakan spidol warna hitam dan merah. "Setiap malam saya buatnya. Harus hati-hati jangan sampai salah. Kalau salah nulis nanti dibacakan dan maknanya juga akan salah," katanya.
Sebelum mengawali membuat lontar, Senari akan melakukan selamatan kecil-kecilan seperti membuat bubur merah. Biasanya ia akan mendapatkan imbalan dari pemesan Lontar Yusuf senilai Rp 150.000 sampai Rp 250.000 dari kitab yang ia buat. "Kalau dulu saya sudah lupa berapa bayarannya. Yang penting ada yang pesan saya segera nulis. Biar Lontar Yusuf tetap dikenal oleh anak muda sekarang. Harapannya agar Lontar Yusuf ini terus lestari, ndak boleh mati," ujarnya.
Saat Kompas.com bertanya apakah ia masih sanggup menulis Lontar Yusuf, dia mengangguk dengan yakin. "Isun mageh sanggup nulis kadung ono hang pesen, Hang penting ngenteni isun waras sulung (Saya masih sanggup nulis jika ada yang pesan. Yang penting menunggu saya sembuh dulu)," katanya.
Ia mengaku pemesanan kitab Lontar Yusuf saat ini semakin jauh berkurang dan ia khawatir jika tidak ada yang meneruskan tradisi tersebut akan punah. "Anak muda jarang ada yang tertarik dengan Lontar Yusuf. Ya nulis, ya mbaca. Ndak ada yang mau," tuturnya dengan lirih.
Ia menjelaskan Lontar Yusuf terdiri dari empat bagian penting yang bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf mulai tentang asmara, doa-doa, alam dan ketika Yusuf dinobatkan menjadi raja serta ketika Yusuf di penjara. "Lontar Yusuf ini dikenal oleh masyarakat Using sejak agama Islam masuk di Banyuwangi. Merupakan sarana berdoa kepada Tuhan dengan harapan agar kehidupan seperti Nabi Yusuf baik dibacakan saat pernikahan ataupun saat khitanan," kata Kang Pur.
Saat ini di Desa Kemiren ada beberapa kelompok Mocoan Lontar Yusuf yang masih aktif melakukan kegiatan tersebut seminggu sekali. "Tapi mayoritas mereka yang ikut mocoan berusia di atas 50 tahun dan mereka mempunyai Kitab Lontar Yusuf yang di tulis oleh Pak Senari," jelasnya.
Ia juga mengaku sedih melihat kondisi Senari saat ini yang sudah tidak bisa lagi beraktivitas normal karena sakit. "Kemarin dapat bantuan dari Dewan Kesenian Blambangan. Berharap sekali beliau sembuh dan bisa kembali menulis Lontar Yusuf serta mewariskan keahliannya kepada generasi muda," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.