Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asal-usul Gudeg dan Kisah Tentang Prajurit Mataram

Kompas.com - 19/11/2016, 07:21 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Djuhariah alias Yu Djum (85) adalah salah satu penjual gudeg ikonik di Yogyakarta. Yu Djum merintis gerai gudegnya pada tahun 1950, bertempat di Karangasem yang dekat dengan Universitas Gajah Mada (UGM).

Gudeg buatannya selalu jadi favorit warga Yogyakarta. Orang Jawa mana yang tak suka gudeg dengan rasa manis yang nendang, serta olahan telur rebus yang bumbunya meresap sempurna?

Wafatnya Yu Djum bisa disebut hilangnya salah satu ikon kuliner legendaris di Yogyakarta. Meski begitu, eksistensi gudeg sebagai masakan istimewa dan khas Yogyakarta tak lantas hilang.

"Gudeg sebetulnya sudah ada sejak Yogyakarta pertama dibangun," tutur Murdijati Gardjito, seorang profesor sekaligus peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PMKT), Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM kepada KompasTravel, Rabu (16/11/2016).

Waktu itu sekitar abad ke-16. Para prajurit Kerajaan Mataram membongkar hutan belantara untuk membangun peradaban yang kini terletak di kawasan Kotagede. Ternyata di hutan tersebut, Murdijati berkisah, terdapat banyak pohon nangka dan kelapa. 

Tribun Jogja/Hamim Thohari Gudeg manggar Bu Seneng
"Para prajurit yang jumlahnya ratusan itu kemudian berusaha memasak nangka dan kelapa. Karena jumlah mereka sangat banyak, nangka dan kelapa dimasak di dalam  ember besar yang terbuat dari logam. Pengaduknya pun besar, seperti dayung perahu," lanjut penulis buku berjudul 'Gudeg, Sejarah dan Riwayatnya' itu.

Proses memasak gudeg tersebut mereka sebut hangudek, alias mengaduk. Dari hangudek, terciptalah makanan yang kemudian disebut gudeg. 

Dari 'makanan tidak sengaja' yang diciptakan para prajurit Mataram, gudeg kini menjadi ikon sekaligus identitas Yogyakarta. Ketenaran gudeg dimulai dari keluarga para prajurit mataram, kemudian melebar ke masyarakat luas.

"Masyarakat melihat gudeg itu sebagai makanan yang fleksibel. Bisa dikombinasikan hanya dengan tempe, tahu, bahkan hanya gudeg dengan areh (kuah) saja sudah bisa untuk makan. Warga yang punya uang bisa menyantapnya dengan telur atau ayam," papar Murdijati.

Itulah mengapa gudeg menjadi makanan favorit berbagai kalangan masyarakat. Apalagi, menurut Murdijati, gudeg menjadi komoditi yang bisa disatukan dalam satu tempat.

Buktinya adalah Jalan Wijilan. Mulai tahun 1970-1980an, saat Yogyakarta mulai digalakkan sebagai kawasan pariwisata, Jalan Wijilan dijadikan sentra gudeg khas Yogyakarta. Di jalan inilah Yu Djum dan para penjual gudeg lainnya membuka lapak.

"Tiap penjual memiliki pangsa pasarnya sendiri. Ada pelanggannya sendiri. Mereka tidak takut kehilangan pembeli karena bicara soal gudeg berarti bicara soal selera," tutur Murdijati.

Itulah mengapa sepiring gudeg, dengan beragam lauk yang bisa dipilih, selalu menempati ruang khusus di lambung warga Yogyakarta. Seporsi gudeg selalu bisa dinikmati baik untuk sarapan, makan siang, hingga makan malam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

Jalan Jalan
7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

Jalan Jalan
Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Travel Update
Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Travel Update
Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Travel Tips
Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Travel Update
Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Travel Update
Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Jalan Jalan
Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Travel Update
KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

Travel Update
Kekeringan Parah Ancam Sejumlah Destinasi Wisata Populer di Thailand

Kekeringan Parah Ancam Sejumlah Destinasi Wisata Populer di Thailand

Travel Update
Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus, Kunjungan Wisatawan ke Kota Batu Naik

Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus, Kunjungan Wisatawan ke Kota Batu Naik

Travel Update
Bangka Bonsai Festival Digelar Sepekan di Museum Timah Indonesia

Bangka Bonsai Festival Digelar Sepekan di Museum Timah Indonesia

Travel Update
Cara ke Tebing Keraton Bandung Pakai Angkot, Turun di Tahura

Cara ke Tebing Keraton Bandung Pakai Angkot, Turun di Tahura

Jalan Jalan
Kemenparekraf Dorong Parekraf di Bogor Lewat FIFTY, Ada Bantuan Modal

Kemenparekraf Dorong Parekraf di Bogor Lewat FIFTY, Ada Bantuan Modal

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com