Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menari di Desa Karo

Kompas.com - 17/04/2010, 16:50 WIB

KOMPAS.com - "Ini rupanya Berastagi, ramai sekali. Meriah," begitu pikirku saat melongokkan kepala dari jendela bus kecil yang membawaku dari Medan. Hawa dingin menyergap. Sementara Sinabung berwarna cerah itu melaju ugal-ugalan, teriakan sopir dalam bahasa Batak di kananku memekakkan telinga. Dia heboh benar mencari penumpang.

Sinabung melaju, melalui areal pertanian yang subur. Kadang terhampar kebun jeruk yang buahnya bergelantungan siap dipanen, kadang kebun kubis, asparagus, bahkan juga kebun bunga. Sesekali kudapati para petani berjalan menuju kebunnya. Yang perempuan mengenakan tudung, kain yang diletakkan di atas kepala dengan bentuk kas. Yang lelaki memikul sabit dan keranjang dari bambu.

Satu dua gereja dengan arsitektur tradisional bermunculan. "Elok nian tempat ini," pujiku dalam hati. Sudah subur tanahnya asri pula pemandangannya. Nampak kuat  penduduknya memegang tradisi. Tak lama kemudian kami memasuki Kota Kabanjahe. Aku turun di depan Masjid Agung sambil menunggu saudara si naga bonar, Edhie Surbakti, datang menjemput.

Begitu tiba, sejenak Edhie menemaniku berkeliling, motret sana-sini, lalu menerangkan seluk-beluk Budaya Karo di sebuah warnet yang dikelolanya. Soal Budaya Karo ini akan kutulis lain hari saja. Tak berapa lama dia memperkenalkan seorang lelaki tinggi besar dan hitam. Bangun Tarigan namanya. Bersama Edhie, alumni etnomusikologi ini sedang melestarikan kembali budaya Karo, baik musik maupun tari.

Bertiga kami lalu menuju Desa Wisata Lingga naik angkot. Ada latihan menari sore itu. “Besok kami mau pentas di sebuah hotel. Hari ini latihan terakhir,” tutur Bangun bersemangat. Tak dihiraukannya mendung menggantung di langit. Gerimis turun tipis tipis.

Lingga terletak di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut, masuk dalam Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo. Lingga merupakan satu dari sedikit desa di Karo yang menyisakan rumah adat Karo. Desa lainnya adalah Dokan, Peceren, Serdang, Barus Jahe, Juhar, Gurusinga dan Cingkes.

Banyak rumah adat yang dirusak dan dibakar orang karo sendiri pada Revolusi Sosial tahun 1946. Ketakutan akan datangnya Belanda kembali, dan kebencian pada Sibayak, menjadi penyebabnya. “Sibayak adalah raja kecil yang diangkat Belanda. Mereka dianggap kaki tangan penjajah, makanya rumahnya dibakar,” jelas Edhie.

Tak berapa lama angkot berhenti di depan bangunan semacam pendopo, Djambur Lingga namanya. Jambur merupakan tempat berkumpulnya para tetua adat dan lelaki. Sore itu jambur yang luas itu nampak sunyi, hanya diisi dua tiga penjaja baju dan dagangannya.

Kami lalu berjalan menuju rumah tempat latihan menari, melewati beberapa waluh jabu atau rumah adat yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Biasanya dihuni lebih dari dua keluarga. Dinding waluh jabu terbuat dari kayu, sementara atapnya dari rumbia. Banyak atap rumbia itu berlumut tebal, menunjukkan betapa tua umurnya. Di bagian atas rumah terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga yang disebut ayo.

Biasanya sebuah waluh jabu di Lingga memiliki dua atau empat ayo, menghadap ke arah yang berlawanan. Di atas ayo baru diletakkan kepala kerbau yang berfungsi untuk menolak bala. Sayang banyak rumah adat yang rusak atau kurang perawatan. Umurnya pun sudah tua, puluhan hingga ratusan tahun. Rumah adat paling tua berumur 250 tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com