Gunting ukuran besar di tangan Sunar (38) tak henti-henti mencincang lontong, gorengan tahu, gorengan kentang rebus, dan telur dadar. Dentingan mata gunting beradu terdengar berirama, ”tek, tek, tek, tek, tek,” begitu cepatnya gunting Sunar mencincang, nyaris seperti mesin jahit. Konon, dari bunyi khas itulah yang membuat menu yang diracik Sunar dinamai ”tahu tek”.
Tangan Sunar cepat menaruh cincangan gorengan tahu, kentang, dan telur dadar itu ke piring. Secobek ulekan petis kental, cabai, dan aneka bumbu disiramkan ke piring itu. Panasnya cincangan tahu, kentang, dan telur dadar itu menguapkan aroma cabai dari petis yang kini membalur sekujur piring sajian menu tahu tek itu.
Sementara sajian lain—bahkan kuliner khas Madura yang cenderung lebih kuat menghadirkan rasa petis ikannya—menjadikan petis ”sekadar” penyedap rasa, tahu tek benar-benar membanjiri seluruh hidangannya dengan petis kental. Dan, untuk urusan rasa, petis racikan Mujayin, sang pemilik warung Tahu Telor Pak Jayen, memang boleh diadu. Pelanggan seperti Zainuddin (37) masih nekat mencocol sisa petis di piringnya dengan kerupuk, menikmati lembut dan gurihnya petis racikan Mujayin.
”Saya datang jauh-jauh memang karena petisnya yang khas. Padahal, penjual tahu tek yang melintas di depan rumah juga banyak, tapi namanya selera kan tak kenal jarak,” kata Zainuddin tertawa.
Edi Setiawan menyebutkan sulit meraba asal-usul petis yang memengaruhi cita rasa Madura dan Surabaya. Apalagi, menentukan siapa memengaruhi siapa.
”Orang Madura lekat dengan petis ikan. Sementara, orang Surabaya, Gresik, dan orang Sidoarjo akrab dengan petis udang. Sebenarnya beragam petis selalu mudah ditemukan di wilayah Nusantara yang menjadi kantong permukiman peranakan Tionghoa. Cirebon menjadi contohnya. Bedanya, Madura dan Surabaya lebih kerap menjadikannya penyedap utama santap besar mereka,” kata Edi yang juga dikenal sebagai budayawan Madura itu.
Gresik, Surabaya, juga Madura, selama berabad-abad menjadi jalur pelayaran terpenting di Jawa Timur, dan sejarah itu menjadikannya tempat berlabuh beragam budaya. Fransiskus Asisi Sutjipto dalam disertasi berjudul Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura mengurai bagaimana Selat Madura menjadi jalur perdagangan rempah, kain, porselen, beras, garam, kayu cendana, kulit kerbau, dan beragam perhiasan berbahan emas dan perak pada abad ke-16 dan ke-17.
”Di Madura terdapat kota-kota bandar, seperti Sumenep, Pamekasan, Sampang, Arosbaya, dan beberapa lainnya. Bandar Tuban, Gresik, dan Jaratan letaknya tepat di tepi jalur besar perdagangan laut yang memanjang dari Malaka ke Maluku. Gresik, Jaratan, dan juga Surabaya merupakan titik-titik pertemuan jalur-jalur laut yang menyusuri pantai utara dan selatan Pulau Madura di satu pihak, dan jalur laut yang memanjang menyusuri pantai ujung Jawa Timur di pihak lain... Pada abad ke-16, kedudukan Surabaya semakin menonjol, bahkan dalam abad ke-17...mengatasi kedudukan bandar tetangganya,” tulis Sutjipto.
Hingga kini pun Surabaya masih menjadi salah satu bandar laut terpenting di Nusantara, dengan banyak jejak perdagangan internasional di masa silam. Ampel, kantong permukiman peranakan Timur Tengah di Surabaya, menyimpan jejak-jejak itu dalam ragam kulinernya. Salah satu jejak unik itu adalah warung tenda Gulai Maryam Haji Safili, yang menyajikan bubur kacang hijau, roti maryam, dan sate kambing rebus.
Warung gulai maryam Haji Safili baru buka lewat tengah malam, tetapi tak pernah sepi dari para pelanggan, seperti Haris (40). Rabu (28/8/2013) dini hari itu, Haris sendirian pergi dari rumahnya di Perak, sekitar 5 kilometer dari Ampel, demi melepas kangennya dengan gulai maryam Haji Safili.
”Kalau tidak punya istri, jangan berani-berani menyantap makanan ini,” kata Haris tertawa. Ia lahap menyantap gulai berupa bubur kacang hijau kental berbumbu minyak samin, sate daging kambing rebus, dan roti maryamnya.
”Kalau pertama menyantap mungkin terasa aneh di lidah. Tapi jangan kaget kalau nanti tiba-tiba kangen,” kata Haris tertawa-tawa.