Sepeintas permainan ini tampak sederhana dan mudah, namun tak semua yang mencobanya punya nyali besar. Puluhan turis yang mencoba uji nyali dalam permainan ayunan ini sebagian tampak asyik dan menikmatinya. Namun tak sedikit turis ngeri alias tak berani dan minta diturunkan panitia sebelum sampai pada hitungan 10 kali ayunan yang mencapai ketinggian lebih dari 20 meter.
Ayunan tradisional setinggi 30 meter lebih ini dibuat dari enam pohon pinang yang menopang di kedua sisinya. Ayunannya sendiri terbuat dari rotan pilihan yang sengaja didatangkan dari puncak gunung. Tidak semua rotan bisa digunakan, hanya rotan yang berbentuk lurus dan memenuhi ukuran panjang lebih dari 30 meter yang bisa dimanfaatkan.
Untuk membuat ayunan dan padendang warga bergotong royong mencari sejumlah bahan sebelum membuatnya menjadi padendang dan ayunan yang mampu menjadi hiburan rakyat dan membuat suasana akrab di kalangan warga.
Sejumlah turis yang ngeri diayun hingga di ketinggian sempat histeris karena ketakutan. Meski permainannya belum mencapai 10 kali ayunan, terpaksa diturunkan panitia karena ketakutan diayun hingga di ketinggian.
Nicolo, salah satu turis yang mencoba uji nyali dalam permainan ini mengaku ngeri diayun hingga ketinggian. Meski baru beberapa kali ayunan, Nicolo terpaksa minta diturunkan karena takut. “Stop, stop, stop! I do not dare (Berhenti, berhenti, berhenti! Saya tak berani),” ujar Nicolo berkali-kali kepada panitia sambil minta diturunkan dari ayunan karena takut dan ngeri.
Sejumlah turis yang sudah mencoba uji nyali dalam permainan ayunan ini mengatakan, untuk berani bermain ayunan hingga di ketinggian harus latihan dulu. Margaretha, turis lainnya mengaku sudah mencoba bermain ayunan namun tak berani. Margaretha mengaku perlu latihan dulu agar bisa lebih berani dan tidak ngeri diayun.
Warga setempat pun bangga kedatangan tamu asing. Mereka berharap tradisi dan permainan tradisional seperti padendang dan ayunan kelak bisa menarik minat warga secara luas untuk ikut meleestarikan aneka kebudayaan lokal agar tidak terancam dari kepunahan.
“Kalau bukan kita yang peduli dengan kebudayaan leluhur kita yang mulai punah dan ditinggalkan generasi muda, lalu siapa lagi yang bisa diharap ikut melestarikannya. Ini aset kebudayaan yang digemari turis sementara kita sudah mulai melupakannya,” ujar Lamansi, salah satu warga Madimeng yang berharap pelestarian budaya lokal bisa kembali digalakkan agar tetap lestari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.