BANYUWANGI, KOMPAS.com - Ratusan warga berkumpul di Pasar Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (11/12/2016).
Setelah suara sirine berbunyi mereka beranjak melakukan kirab pusaka menuju Wana Wisata Rowo Bayu yang menjadi tempat petilasan pahlawan Kerajaan Blambangan, cikal bakal Kabupaten Banyuwangi.
Dengan membawa gunungan yang berisi 47 keris dan empat tombak pusaka mereka berjalan sejauh 3 kilometer masuk ke dalam hutan Bayu.
(BACA: Wow... Ada Bakso Hamil dan Beranak di Banyuwangi)
Mereka juga mengarak dua gunungan berisi hasil pertanian masyarakat setempat serta minuman dawet beras yang ditempatkan di gerabah.
Sebelum perang dimulai semua prajurit meminum dawet beras yang telah didoakan oleh Kiai Endoh dan Empu Larab termasuk prajurit perempuan yang dipimpin oleh Sayu Wiwit pahlawan perempuan dari Kerajaan Blambangan.
Mereka lalu menjamas pusaka yang dibawa oleh Pangeran Jogopati yaitu keris Pasopati serta cundrik senjata Sayu Wiwit yang menyerupai keris kecil yang biasanya digunakan untuk tusuk konde.
(BACA: Anas: Kami Kembangkan Wisata Banyuwangi Nyaris dari Nol)
Peperangan dengan Belanda pun dimulai dan Pangeran Jogopati gugur dalam pertarungan. Perjuangannya kemudian dilanjutkan oleh Sayu Wiwit dan rakyat Blambangan menang mengalahkan Belanda.
Pj. Kepala Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Hadi Wijoyo kepada KompasTravel, Minggu (11/12/2016) menjelaskan drama tersebut sengaja digelar untuk mengenang kembali perjuangan rakyat Blambangan yang menjadi cikal bakal Kabupaten Banyuwangi.
"Jika ada drama kolosal seperti ini orang-orang tahu bagaimana cerita perjuangan zaman dulu. Sepanjang jalan yang dilalui kirab dan napak tilas, masyarakat meletakkan makanan, minuman dan hasil pangan di depan rumah agar bisa dinikmati para peserta secara gratis. Ini juga dilakukan oleh orang-orang dulu untuk pejuang yang melakukan gerilya. Para rakyat berperan dengan menyediakan makanan sepanjang jalan," jelas Hadi.
Ia memaparkan, perang Puputan yang terjadi sekita tahun 1771-1772 adalah perang besar dan memakan banyak korban. "Itu alasan disebut puputan atau puput yang berarti habis habisan," katanya.
Pemilihan wana wisata Rowo Bayu yang berada di Songgon sebagai pusat kegiatan kirab pusaka bukan tanpa alasan karena di Rawa Bayu terdapat petilasan Prabu Tawang Alun, Raja Blambangan.
Di tempat wisata yang berupa telaga tersebut terdapat tiga mata air atau sendang yaitu Sendang Keputren, Sendang Wigangga berupa pancuran patung yang berbentuk seorang wanita membawa kendi dan Sendang Kamulyan tepat berada di belakang bangunan petilasan.
Tempat ini sekaligus menjadi tempat petilasan Prabu Tawangalun. Selain itu terdapat Candi Puncak Agung Macan Putih yang didirikan untuk menghormati roh para leluhur yang telah berjasa dalam mempertahankan tanah Blambangan saat Perang Puputan Bayu tahun 1771.