Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Gupuh, Lungguh, Suguh", Sekali Seduh Kita Bersaudara...

Setelah diaduk, kemudian dia menyuguhkan dua cangkir kopi untuk Kompas.com yang hadir di Festival Kopi Sepuluh Ewu, di Desa Kemiran, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (21/10/2017) malam.

"Ini kopi Jaran Goyang, kalau ini kopi Jaranan Goyang," katanya bercanda sambil tertawa.

Kopi Jaran Goyang adalah sebutannya untuk kopi yang diberikan oleh panitia dan kopi Jaranan Goyang adalah kopi yang dia buat sendiri.

Kopi Jaran Goyang adalah salah satu merek kopi yang dibuat oleh warga Desa Kemiren yang kemudian dibagikan secara gratis kepada warga yang ikut meramaikan acara Festival Kopi Sepuluh Ewu yang artinya sepuluh ribu.

Dia juga menunjukkan koleksi gelas khas miliknya. Suciyati mengaku ada cangkir yang usianya lebih tua dibandingkan usianya sendiri karena milik ibunya sebagai hadiah pernikahannya.

"Lebih tua usia cangkirnya dibandingkan usia saya dan ibu saya. Ini diwariskan secara turun temurun," ujarnya.

"Kalau kopi saya sendiri dicampur jahe agar hangat dan pakai cangkir sendiri. Dapat hadiah pas jadi pengantin baru," kata Suciwati.

Saat ditanya berapa harus membayar kopi yang disajikan, Suciwati menolak dan mengatakan bahwa semuanya yang diminum gratis. "Kalau mau selamatan masih harus mengundang banyak orang. Banyak tamu banyak rezeki kan," katanya.

Dia juga menggratiskan pisang goreng yang juga disajikan di atas meja.

Namun untuk kue-kue tradisional lainnya, seperti tape buntut, kucur, sawud, cenil dijual Suciyati dengan harga antara Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per biji.

"Kalau kata orang Using, 'gupuh, lungguh dan suguh'. Artinya tergopoh-gopoh, duduk dan menyuguhkan. Suguhkan apa? ya kopi dan jajanan," katanya.

Sepanjang jalan utama Desa Kemiren, Sabtu malam terlihat sangat meriah. Ribuan orang datang dan duduk di kursi yang sediakan di sepanjang jalan desa, bahkan ada yang menggelar tikar di depan halaman rumah.

Kegiatan tersebut juga dijadikan sarana silaturahmi dan reuni oleh masyarakat asli Banyuwangi yang tinggal di luar kota.

Seperti yang dilakukan Prabowo. Dia sengaja membuat halaman salah satu rumah warga Kemiren menjadi stan tempat reuni untuk masyarakat Banyuwangi yang lulus SD pada tahun 80, lulus SMP tahun 1983 dan lulus SMA pada tahun 1986.

Dengan megambil judul Eksist 8-83-86, banyak masyarakat Banyuwangi yang rata-rata lahir di usia 1966-1997 hadir di stan tersebut.

"Di sini kita sediakan beberapa meja dan kursi serta kopi lengkap dengan camilannya. Ada juga batik-batik Banyuwangi yang menjadi latar belakang jika mau foto bersama. Ini cara kamu mengambil peran untuk mengenalkan kegiatan Banyuwangi. Ngopi juga menyambung silaturahmi. Banyak mereka yang dari luar kota juga datang ke sini," kata Prabowo.

Ia mengaku setiap ada Festival Ngopi Sepuluh Ewu selalu membuka stan dan sudah berhasil mengumpulkan sekitar 300-an orang yang menjadi alumni sekolah Banyuwangi pada masa itu.

"Yang aktif ada 300-an orang, tapi anggotanya bisa 3 ribuan lebih, Bisa dibayangkan berapa jumlah sekolahnya dan siswanya. Ya akhirnya ketemu di sini," kata Prabowo.

Mereka memiliki semboyan 'sak corot dadi sakduluran' artinya 'satu seduh kita bersaudara'. Sudah sepatutnya pemerintah daerah terus melestarikan budaya yang baik ini.

"Festival ini juga menjadi bagian dari upaya menjaga semangat gotong royong. Masyarakat rela menyuguhkan secara gratis kopi dan makanan untuk semua orang yang bahkan belum dikenal. Meski terkesan sederhana namun cara ini ampuh untuk merajut persatuan di antara kita," kata Anas saat membuka Festival Ngopi Sepuluh Ewu.

https://travel.kompas.com/read/2017/10/23/075200227/-gupuh-lungguh-suguh-sekali-seduh-kita-bersaudara-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke