Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ragam Moda Transportasi "Jadul" di Jakarta dari Masa ke Masa

KOMPAS.com - Dari tahun ke tahun, tampaknya masalah kemacetan Jakarta tak kunjung usai. Fenomena macetnya Kota Jakarta ini bahkan sudah terlihat sejak tahun 1965. 

Hal ini seperti yang diceritakan dalam sebuah surat kabar Kompas terbitan tahun 1965, yang menunjukkan bahwas kemacetan sudah terekam sejak tahun itu. Dalam berita tersebut diceritakan bagaimana gerak mobil hanya berkisar 16 km per jamnya.

Beragam usaha untuk mengurangi kemacetan Kota Jakarta sejatinya sudah dilakukan sejak dari zaman dahulu. Seperti adanya pelarangan serta penggantian alternatif transportasi yang terus diupayakan.

Tak heran, jika kemudian Jakarta memiliki cukup banyak jenis moda transportasi beragam dari masa ke masa. Kini sebagain moda transportasi tersebut masih ada, tapi beberapa sudah tak lagi eksis. Apa saja? Yuk simak!

Becak merupakan kendaraan roda tiga yang dikayuh oleh manusia. Tahukah Kamu kalau bentuk becak dan kata becak (betjak) yang kita kenal berasal dari Tiongkok, dimana bee (kuda) dan tja (gerobak) atau berarti kuda gerobak.

Becak masuk ke Indonesia pertama kali pada awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang.

Menurut Star Weekly, tahun 1940 becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.

Meski pernah menjadi sarana transportasi favorit, seiring perkembangannya becak dinilai menjadi biang keladi ketidaktertiban lalu lintas, dan becak dianggap sebagai cermin eksploitasi manusia atas manusia.

Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta Tahun 1965-1985 tidak lagi mengakui becak sebagai angkutan umum. 

Pada tahun 1967 Gubernur Ali Sadikin merintis penghapusan becak. Perlahan pemakaian becak dikurangi di pusat-pusat kota. Tiga tahun kemudian dia mengeluarkan instruksi yang melarang produksi dan pemasukan becak ke Jakarta.

Meski begitu, becak masih bisa ditemui hingga hari ini. Biarpun dianggap biang kemacetan, becak merupakan sarana transportasi ramah lingkungan dan  memiliki nilai unik tersendiri dipandang dari sisi wisata.

Saat becak tak lagi dianggap sebagai angkutan umum, moda-moda angkutan baru pun diperkenalkan sebagai pengganti becak.

Beberapa di antaranya masih melekatkan nama becak, seperti bemo (becak mobil), mobet (motor betjcak), dan helicak (helikopter becak). Selain itu juga ada mebea yang bentuknya mirip dengan bajaj.

Seiring perkembangannya kendaraan seperti bemo dan helicak, cenderung surut. Pemicunya, antara lain, karena ongkos pemeliharaan yang mahal sehingga berdampak terhadap target setoran yang tinggi.

Bemo juga dianggap tidak menggantikan becak yang multifungsi. Bemo surut karena tidak efisien untuk jarak dekat dan tidak bisa masuk ke gang-gang sempit. Sedangkan Helicak dan mebea pun akhirnya punah.

Sedangkan mobet, masih bisa ditemui hingga hari ini seperti yang ada di daerah Senen dan Kemayoran

3. Bajaj

Bajaj generasi pertama yang beroperasi di Jakarta memiliki mesin 150 cc dan merupakan produksi India. 

Surat Keputusan Gubernur DKI pada Juni 1975 memasukkan bajaj sebagai anggota angkutan umum Jenis IV selain minicar, helicak, dan mebea.

Jenis IV merupakan angkutan lingkungan atau melayani wilayah permukiman. Keberadaannya melengkapi angkutan jenis I-III, yakni kereta api, bus kota, dan taksi. Berdasarkan surat keputusan itu, keberadaan minicar, helicak, dan mebea dinilai belum mampu menggantikan becak. 

Pada perkembangannya,ketimbang kendaraan jenis IV lain, bajaj bertahan karena unggul dari sisi ekonomi. 

Ada beberapa kendaraan yang juga diperkenalkan ke Jakarta sebagai "penantang" bajaj. Diantaranya seperti tuk-tuk dan toyoko pada Mei dan Oktober 1990.

Secara fisik, bentuk tuk-tuk dan toyoko mirip bajaj. Namun tuk-tuk bermesin Daihatsu 350-500 cc dan merupakan alat transportasi produksi dari Thailand. Sedangkan Toyoko merupakan alat tranportasi produksi Jepang bermesin 100 dan 165 cc.

5. Kancil

Pada tahun 2004, pemerintah mengenalkan kancil yang digadang bakal menggantikan bajaj. Pada tahap awal, Pemprov DKI mengizinkan operasi 250 unit kendaraan yang juga dikenalkan sebagai kendaraan angkut niaga cilik irit dan lincah.

Namun para pengusaha dan pengemudi bajaj menolak kancil. Ketua Paguyuban Bajaj Jakarta, ketika itu, Tarjono mengatakan, para pengusaha dan pengemudi bajaj menolak kancil karena secara ekonomis tidak terjangkau.

"Harga kancil terlalu mahal, satu unit Rp 42 juta, sedangkan bajaj sekitar Rp 14 juta hingga Rp 16 juta per unit," ujarnya. (Kompas, 24 Juni 2004)

6. Trem

Trem pertama kali hadir pada 1869 dioperasikan dengan tenaga kuda. Barulah pada 1881 trem uap dibawah naungan Stoomiram Mij (maskapai trem uap) dioperasikan dengan rute Glodog, Harmoni, Pasar Baru, Senen, Kramat. Pada 1897 Electrische Tram Mij (maskapai trem listrik) mulai beroperasi.

Pada 1930 perusahaan trem uap dan trem listrik bergabung, dan perlahan trem uap mulai tergantikan trem listrik.

Pada era 1950-an, trem sempat menjadi transportasi andalan warga Jakarta. Lantaran trem beroperasi tepat waktu. Sayangnya seiring waktu karena urbanisasi, trem tidak lagi nyaman digunakan karena terlalu ramai.

Seorang pengusaha angkutan yang pernah menjadi sopir dan mencicipi seluruh bus kecil seperti yang pernah dikutip Kompas 23/01/2018 menyebut Oplet adalah istilah bus kecil yang berbasis mobil Morris Minor 1000 Traveler buatan Inggris. Mobil ini digunakan sebagai angkutan umum jenis bus kecil di Jakarta dari era 1950-an hingga 1980. 

Masih menurut Salim, pada 1980, terjadi peremajaan bus kecil dari sebelumnya menggunakan Morris Minor menjadi Toyota Kijang.

Pada saat inilah pengunaan istilah mikrolet mulai muncul untuk membedakannya dengan oplet.

Seiring berjalannya waktu, Kijang juga harus diremajakan dan diganti dengan jenis kendaraan yang baru, yakni Suzuki Carry dan Daihatsu Gran Max. Inilah kendaraan minibus yang kemudian dikenal sebagai angkot.

Berbeda dengan Salim, Ketua DPD Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan (22/1/2017) mengatakan, istilah oplet, mikrolet, dan angkot hanya penyebutan yang berlaku di masyarakat namun tidak disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebab dalam peraturan tersebut, ketiganya tetap dikategorikan sebagai bus kecil.

Ia juga mengatakan tentang kerancuan penyebutan angkot oleh masyarakat. Istilah angkot muncul awal tahun 2000-an oleh sebagian masyarakat di wilayah pinggiran Jakarta. Mereka menyebut angkutan kecil itu sebagai angkot. Padahal angkot itu sendiri singkatan dari angkutan kota yang bisa juga untuk bus sedang dan bus besar.

Kehadiran bus tingkat dimuai pada tahun 1968, di mana didatangkan bus- bus tingkat yang diimpor dari Inggris dan siap beroperasi di jalanan Ibu Kota. Diawali dengan bus tingkat Leyland Titan hingga Volvo B55 Triple Axle.

Dari Kota Jakarta, kehadiran bus tingkat selanjutnya menyebar ke beberapa wilayah Indonesia seperti Surabaya, Solo, Medan dan Semarang.

Namun kini bus tingkat lebih difungsikan di bidang wisata seperti digunakan sebagai sarana  untuk melakukan city tour.

https://travel.kompas.com/read/2019/06/23/080700127/ragam-moda-transportasi-jadul-di-jakarta-dari-masa-ke-masa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke