KOMPAS.com - Kabupaten Nagekeo di Nusa Tenggara Timur (NTT) tengah mengembangkan atraksi budaya yang bisa menjadi daya tarik pariwisata yaitu Tinju Etu.
Tinju Etu sendiri biasanya dilakukan kaum laki-laki masyarakat adat di Kabupaten Nagekeo dan Ngada, Flores, NTT.
Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do mengatakan, Tinju Etu ini bisa dilihat di 31 kampung adat dan dilakukan sepanjang bulan setiap tahunnya.
"Sehingga Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores menawarkan Etu ini sebagai pintu masuk Nagekeo. Etu sebagai pioneer pariwisata Nagekeo," kata dia.
Pernyataan itu Johanes sampaikan dalam webinar Tata Kelola Pariwisata Flores NTT Menuju Era Adaptasi Kebiasaan Baru yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Jumat (28/8/2020).
Untuk menunjang atraksi tersebut sebagai daya tarik wisata, pihaknya bersama Dinas Pariwisata NTT tengah menata ulang semua sistem pendukung wisata.
Semua itu, seperti kerajinan, penerapan Sapta Pesona di Kampung Adat, penataan lingkungan, dan mengembangkan kamar di rumah penduduk yang layak sewa.
Kabupaten Nagekeo juga mendapat bantuan dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), sehingga masyarakat adat, kamar-kamarnya bisa digunakan untuk menerima tamu.
Lalu seperti apa Tinju Adat atau Tinju Etu di Nagekeo?
Atraksi memperingati hari menanam hingga panen kebun
Tinju Etu merupakan sebuah atraksi budaya sebagai salah satu rangkaian acara adat untuk memeringati hari menanam hingga panen kebun.
Biasanya, tinju Etu dilakukan pada Bulan Juni dan Juli setiap tahunnya. Selain itu, Tinju Etu juga merupakan bagian integral dalam rangkaian adat Nagekeo dan Ngada yang sudah berlangsung berabad-abad.
Tinju Etu juga merupakan bagian dari ritual adat lainnya yang wajib dilaksanakan di tempat tertentu, yaitu Kisa Nata atau alun-alun dan rumah adat atau sa'o waja.
Kedua tempat itu merupakan pusat dari aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat Nagekeo dan Ngada.
Wisatawan bisa mengikuti rangkaian atraksi budaya itu, bahkan sejak sehari sebelumnya. Ada serangkaian acara menarik yang diselenggarakan, seperti pertunjukkan seni musik dan tari dero.
Pada hari bertarung tiba, wisatawan akan melihat para petarung terbaik mewakili masing-masing desa.
Bukan sekadar bertinju, Etu hanya menggunakan satu tangan yang dibalut sarung tinju dari sabut kelapa
Jika kamu berpikir Tinju Etu sama seperti tinju pada umumnya, kamu akan dikejutkan ketika melihat pemandangan yang berbeda.
Tinju Etu memang tak seperti tinju pada umumnya. Para petarungnya hanya boleh menggunakan satu tangan yang dibalut sarung tinju terbuat dari sabut kelapa atau dalam bahasa setempat disebut Keppo atau Wholet.
Sarung tangan itu dililitkan ke tangan petarung. Tangan satunya tak dilindungi sarung tinju dan hanya boleh digunakan untuk menangkis serangan.
Tak ada batasan waktu, dan tetap ada wasit
Meski ada beberapa hal yang berbeda seperti tinju pada umumnya, Tinju Etu tetap menggunakan wasit, bahkan lebih dari satu.
Ada tiga wasit yang disebut seka dalam pertarungan. Para wasit itu dibantu 2 sike atau orang yang bertugas untuk mengendalikan petinju dengan cara memegang ujung bagian belakang sarung yang mereka kenakan.
Selain itu, wisatawan juga bisa melihat adanya petugas lain yaitu pai etu. Fungsinya adalah untuk mencari para petarung yang siap bertanding di partai berikutnya.
Ada pula mandor adat yang bertugas mengawasi penonton agar tak masuk ke arena pertarungan.
Tinju Etu juga bisa dilakukan oleh anak-anak atau biasa disebut etu coo. Etu coo biasa dimainkan pada hari pertama sedangkan etu meeze atau dewasa dilakukan pada hari berikutnya.
Pertarungan ini juga tidak dikenakan batas waktu.
Akhir pertandingan, petinju berpelukan
Ada yang menarik dalam atraksi Tinju Etu ini. Para petarung di akhir pertandingan saling berpelukan dan melambaikan tangan kepada penonton.
Hal itu yang melambangkan sikap atau simbol perdamaian, persaudaraan, dan persatuan. Selain itu, juga karena motif atau latar belakang penyelenggaraan tinju adat ini adalah murni bagian adat untuk mempersatukan masyarakat.
Selain bisa menonton tinju adat, para wisatawan juga bisa menyaksikan bagaimana para perempuan mengambil peran sebagai penyemangat petarung melalui lagu daerah yang mereka nyanyikan.
Wisatawan juga bisa menikmati pertunjukan seni musik dan tari dari beragam sanggar seni tradisional Nagekeo pada malam sebelumnya.
Wisatawan bisa juga mendengarkan lantunan musik toda gu, yang merupakan musik khas daerah Nagekeo berupa alat terbuat dari bambu dan dimainkan secara bersamaan.
https://travel.kompas.com/read/2020/09/01/170500627/uniknya-etu-tinju-adat-yang-justru-mengakrabkan-di-nagekeo-ntt