JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah pembatasan perjalanan selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, muncul fenomena baru dalam pariwisata yakni istilah yang disebut dengan revenge travel atau revenge tourism.
Seperti diketahui, selama dua tahun terakhir, masyarakat mengalami karantina, isolasi, pembatasan aktivitas sosial, larangan bepergian, dan penutupan negara dari wisatawan asing.
Beberapa hal tersebut dilakukan guna meminimalisir angka penyebaran virus.
Oleh karena itu, keinginan berwisata banyak masyarakat yang sebelumnya tertahan, menjadi lebih besar saat pelonggaran dilakukan.
Seperti dikutip Kompas.com (04/08/2021), dari The Economic Times, revenge travel atau revenge tourism adalah fenomena yang terjadi saat masyarakat melakukan perjalanan atau berwisata ke luar rumah setelah menjalani isolasi.
Sesuai namanya, fenomena ini disebut sebagai bentuk "balas dendam" dari orang-orang yang terpaksa menjalani isolasi, karantina, dan pembatasan karena kebijakan yang berlaku.
Data dari Travel Insights with Google menunjukkan beberapa karakteristik revenge traveler di Asia Tenggara, sejak dibukanya perbatasan negara-negara di kawasan tersebut.
“Revenge traveler saat ini mencari segala cara agar mereka dapat melakukan perjalanan yang berkualitas, sebagai pengganti sebelum-sebelumnya. Ini terlihat dari banyaknya pergerakan wisatawan di Asia Tenggara”.
Demikian disampaikan Asia Pacific Lead for Google, Hermione Joye, saat diskusi Southeast Asia Travel Roundtable 2022, pada Selasa (26/04/2022).
“Jadi, apa saja yang saat ini diinginkan oleh revenge traveler, dari data (Google) yang kami punya?” imbuh Herminone.
1. Menjelajah dengan penuh semangat (passionately exploring)
Menurut Hermione, jumlah wisatawan di Asia Tenggara terlihat menunjukkan antusiasme tinggi dalam mencari destinasi wisata.
Data Google menunjukkan, penelusuran terhadap kata kunci “where to travel” meningkat hingga 336 persen dalam beberapa waktu terakhir, khususnya di negara Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Hal ini, kata Hermione, merupakan suatu hal yang sangat masif dan mind-blowing, karena angkanya yang sangat tinggi.
Dari data penelusuran Google, diketahui bahwa banyak traveler cenderung ingin memilih wisata berbasis alam.
Namun, ternyata banyak juga dari mereka yang akan kembali pada classic itinerary, yakni mengunjungi destinasi wisata di kota-kota besar.
“Singapura, London, dan Dubai adalah beberapa kota besar yang banyak dicari,” jelas Hermione.
Menurutnya, banyak dari revenge traveler yang ingin kembali merasakan budaya, sejarah, mengeksplorasi kuliner, dan hal lainnya yang menjadi ciri khas suatu kota.
Hermione mengatakan, banyak dari wisatawan yang menghabiskan biaya lebih besar saat bepergian, sehingga dapat memberikan dampak baik bagi ekonomi dan industri pariwisata.
Bahkan, menurutnya, terjadi pertumbuhan hingga 100 persen penelusuran dengan kata kunci “akomodasi”.
“Menurut data yang kami lihat, ada kenaikan lebih dari 100 persen pada akomodasi seharga 300 dollar AS lebih di Asia Tenggara. Ini adalah berita yang baik," pungkas Hermione Joye.
Adapun beberapa tren wisatawan di Asia Tenggara selama pandemi di antaranya adalah menggunakan teknologi digital, ingin update di media sosial, merencanakan durasi perjalanan lebih panjang, dan preferensi pada penginapan mewah.
https://travel.kompas.com/read/2022/04/27/144542427/usai-pandemi-muncul-fenomena-revenge-traveler-apa-itu
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan