Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

5 Fakta Stasiun Jatinegara, Beroperasi sejak Tahun 1910

KOMPAS.com - Stasiun Jatinegara adalah salah satu stasiun kereta api di Jakarta yang memiliki bangunan unik.

Rupanya, bangunan yang dipertahankan sejak lama ini memang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya beberapa waktu lalu.

Letaknya yang dekat dengan pusat kota juga membuat Stasiun Jatinegara menjadi salah satu stasiun tersibuk di ibu kota. Selain jadi tempat pemberhentian Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ), Stasiun Jatinegara juga melayani commuter line atau kereta rel listrik (KRL).

Berikut sejumlah fakta tentang Stasiun Jatinegara yang menyimpan sejarah ini.

Fakta Stasiun Jatinegara

1. Ditetapkan sebagai cagar budaya pada 2005

Stasiun Jatinegara ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada 2005 dan terdaftar di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan nomor registrasi RNCB.19990112.02.000503 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.13/PW.007/MKP/05 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 011/M/1999, seperti dikutip dari situs Kereta Api Indonesia (KAI).

Dikutip dari direktori pariwisata yang dikelola Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Stasiun Jatinegara kini termasuk yang paling sibuk di Daerah Operasional 1 (Daop 1 Jakarta).

Stasiun ini melayani perjalanan KRL relasi Bekasi-Jakarta Kota PP, Jatinegara-Bogor PP, serta KAJJ.

Terdapat lima jalur utama untuk perjalanan kereta api dan tiga jalur alternatif untuk langsir lokomotif dan kereta perawatan jalur kereta api.

3. Dulunya tidak bernama Stasiun Jatinegara

Stasiun ini sebelumnya bernama Stasiun Meester Cornelis. Dikutip dari jurnal bertajuk Stasiun Jatinegara Era Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 (2021) yang dirilis melalui Fajar Historia, nama itu tak terlepas dari nama daerah atau wilayah yang dimiliki seorang pemuka agama Kristen yang bernama Cornelis van Senen.

Wilayah itu kemudian berkembang pesat menjadi pemukiman dan pusat perdagangan yang ramai.

Menurut situs KAI, nama Meester (tuan guru) Cornelis diabadikan menjadi nama wilayah setelah Cornelis van Senen meninggal dunia pada 1661.

Pada 1887, perusahaan kereta api swasta Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOSM) meresmikan Stasiun Meester Cornelis bersamaan pembukaan jaringan kereta api Batavia Zuid (Jakarta Kota)-Meester Cornelis (Jatinegara)-Bacassie (Bekasi) yang diperpanjang hingga Karavam (Karawang).

Lantaran masalah keuangan, jalur tersebut kemudian dibeli oleh perusahaan kereta api negara Staatssporwegen (SS) pada 1898.

Pada 1909, SS kemudian membangun stasiun baru yang terletak sekitar 600 meter dari Stasiun Meester Cornelis eks BOSM.

Saat itu, pada 1910 stasiun dibuka sementara untuk penumpang, koper, dan pengiriman barang. Sedangkan stasiun lama tetap digunakan untuk lalu lintas barang.

Awalnya, stasiun tersebut sempat dikenal dengan nama Rawa Bangke, diambil dari nama rawa yang letaknya tidak jauh dari stasiun.

Ada beberapa pendapat tentang nama "Jatinegara". Ada yang menyebut hal itu karena perubahan nama terjadi pada zaman penjajahan Jepang. Jepang menganggap nama "Meester" terlalu berbau Belanda.

Ada pula pendapat bahwa nama Jatinegara diberikan karena di daerah tersebut terdapat banyak hutan jati.

Pendapat lainnya menyebut Jatinegara berasal dari kata "Negara Sejati", sebutan yang dipopulerkan oleh Pangeran Jayakarta.

Perubahan nama daerah itupun berdampak terhadap perubahan nama stasiun menjadi Stasiun Jatinegara, hingga saat ini.

4. Mengadopsi arsitektur bergaya peralihan

Hingga hari ini, bahkan saat revitalisasi sudah dilakukan, bangunan lama Stasiun Jatinegara masih dipertahankan dan tampak jelas.

Bangunannya mengadopsi gaya peralihan antara Indische Empire dengan gaya Kolonial Modern yaitu gaya arsitektur Eropa.

Ini ternyata dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di Indonesia.

Secara detail, atap dengan kemiringan tajam yang diadopsi merupakan bentuk atap rumah Eropa, di mana kemiringan atap diatur sedemikian rupa untuk mengalirkan air hujan.

Sementara bidang-bidang bukaan seperti pintu, jendela, serta jendela atap yang lebar-lebar ditujukan untuk pencahayaan alami dan penghawaan silang. Disesuaikan dengan iklim tropis Indonesia yang lembap.

Bangunannya tampak tidak simetris, tetapi memiliki penekanan pada bagian tengah sebagai vocal point, melalui ukuran ruang dan ketinggian bangunan yang terlihat lebih menonjol.

Bagian tengah bangunan tersebut merupakan pintu masuk, hall, dan tempat penjualan karcis. Meski tidak simetris, namun terlihat penekanan dengan penempatan penonjolan bangunan dan kanopi, serta cupola para puncak atap.

Adapun cupola di puncak atap adalah sentuhan estetis ynag menandakan area tersebut sebagai vocal point. Zaman dulu, cupola semacam ini kadang-kadang dipasangi lentera di dalamnya.

Namun kini, bangunan stasiun tampak lebih megah terutama jika dilihat dari depan. Ini karena telah dilakukan revitalisasi yang menambah bangunan modern di belakang bangunan asli Stasiun Jatinegara.

5. Terintegrasi dengan Transjakarta

Pada awal Januari 2023, telah resmi dibuka halte Transjakarta yang terintegrasi langsung dengan Stasiun Jatinegara.

Dengan begitu, penumpang yang akan masuk atau keluar dari stasiun dan menggunakan moda transportasi tersebut tidak perlu keluar untuk naik bus Transjakarta.

Halte ini melayani beberapa rute Transjakarta, seperti Kampung Melayu, Bukit Duri, Pulogebang, dan Rawa Bebek.

https://travel.kompas.com/read/2023/01/26/101600227/5-fakta-stasiun-jatinegara-beroperasi-sejak-tahun-1910

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke