Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengalaman Ikut Tur Wisata Jalan Kaki di Kampung Tugu, Jejak Portugis di Jakarta Utara

KOMPAS.com - Kampung Portugis atau kerap dikenal dengan sebutan Kampung Tugu hingga saat ini masih menyimpan jejak sejarah sejak kedatangan orang Portugis ke Batavia.

Orang Portugis yang datang ke Batavia pada dasarnya merupakan tentara Portugis yang dibuang oleh bangsa Belanda, dan dijadikan sebagai tawanan di Batavia.

"Kalau melihat orang tugu yang tinggal di kawasan Kampung Tugu, kebanyakan perawakan Portugisnya tidak terlalu terlihat. Mungkin karena sudah terjadi perkawinan campuran," kata pemandu Wisata Kreatif Jakarta, Yuli, saat tur wisata jalan kaki rute Kampung Tugu, Jakarta Utara, Rabu (27/9/2023).

Penasaran dengan rupa lingkungan di sana, baru-baru ini Kompas.com berkesempatan ikut tur jalan kaki bersama Wisata Kreatif Jakarta menjelajahi Kampung Portugis.

Menuju Stasiun Tanjung Priok

Satu-satunya stasiun KRL Commuter Line terdekat dari Kampung Portugis yang bisa diakses yaitu Stasiun Tanjung Priok. 

Jaraknya sekitar 7,1 kilometer dan bisa ditempuh menggunakan kendaraan bermotor sekitar 15 menit perjalanan.

Mengingat kegiatan tur jalan kaki ini dimulai pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB, maka Kompas.com memutuskan untuk bertolak dari Stasiun Palmerah menuju Stasiun Tanjung Priok sekitar pukul 06.00 WIB.

Kompas.com sampai di Stasiun Tanjung Priok sekitar pukul 07.30 WIB. Guna mengisi energi sebelum tur, sarapan ketupat sayur di dekat Stasiun Tanjung Priok pun jadi pilihan.

Setelah sarapan, Kompas.com melanjutkan perjalanan ke lokasi menumpangi transportasi online dan tiba di lokasi sekitar pukul 08.15 WIB.

Tur wisata menapaki Kampung Portugis

Usai para pemandu wisata membagi kelompok, akhirnya tur wisata pun dimulai. Spot pertama yang tim Kompas.com kunjungi yaitu Gereja Tugu.

Gereja ini konstruksi bangunannya serupa halnya dengan gaya bangunan khas Belanda. Gedung yang tinggi, jendela berukuran besar dan dominan berwarna putih.

Saat masuk ke dalam gereja, tampak di bagian depan terdapat mimbar yang konon katanya sudah ada sejak gereja didirikan sekitar 1676-1678.

Jika biasanya di dalam gereja kerap ditemukan lonceng, lain halnya di Gereja Tugu yang meletakkan lonceng di luar gereja. Kata Yuli, salah satu ciri khas gereja kuno yaitu penempatan lonceng yang berada di luar gereja.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke samping Gereja Tugu, yaitu tanah yang dijadikan sebagai pamakaman khusus orang tugu.

Kata Yuli, hanya orang tugu yang sudah punya pendahulu yang boleh dikuburkan di sini. Penguburannya pun dilakukan dengan cara ditumpuk dengan kuburan pendahulunya. Hal ini dilakukan karena keterbatasan lahan yang di kawasan pemakaman tersebut.

Di antara banyaknya kuburan yang Kompas.com lihat, ada satu kuburan yang bentuknya cukup unik dan posisinya berada di bagian tengah.

Jika biasanya kuburan berbetuk persegi panjang dengan hiasan batu nisan, lain halnya dengan kuburan ini yang berbentuk prisma trapesium.

Kata Yuli, kuburan tersebut merupakan makam tertua yaitu makam Pendeta Leimena yang sudah ada sejak 1890.


Mendengar alunan kerocong di Rumah Tugu

Tur wisata kemudian berlanjut menuju ke Rumah Tugu, lokasinya ditempuh dengan jalan kaki sekitar 10 menit dari Gereja Tugu.

Matahari di kawasan Kampung Portugis ini terasa cukup terik, ditambah debu yang simpang siur seiring mobil pengangkut barang  lewat di jalan raya.

Beruntungnya, Kompas.com memakai payung dan memakai masker siang itu, sehingga cukup membantu menghindari polusi ketika berpindah antar lokasi saat tur.

Rumah Tugu ini bangunannya nampak sederhana, tapi terasa nyaman karena penataan barang yang tepat dan sirkulasi udara yang baik.

Siang itu semua peserta tur wisata diceritakan mengenai Rumah Tugu, dan bagaimana musik keroncong lahir pertama kali di Kampung Tugu.

Pada akhir sesi, peserta tur berkesematan mendengarkan alunan musik keroncong dari grup Kerontjong Toegoe.

Mencicipi kuliner khas Tugu

Mendekati pukul 12.00 WIB, perjalanan kemudian dilanjutkan ke salah satu rumah orang tugu untuk menikmati kuliner khas Tugu.

Di sini semua peserta tur disuguhkan pisang udang, ketan unti, apem kinca, dan gado-gado siram.

Selain menikmati kuliner, Kompas.com juga sempat berbincang dengan Eda, orang tugu yang membuat kuliner tersebut.

Kata Eda, salah satu kuliner yang disajikan hari itu, yakni ketan unti, biasanya hanya disajikan pada saat ada orang tugu yang meninggal.

"Orang zaman dahulu di sini menyuguhkan hasil bumi untuk masyarakat, yakni hasil tani, hasil ternak, dan hasil laut, kawasan ini dulu persawahan. Saat ada orang yang meninggal, biasanya banyak masyarakat yang datang, jadi disuguhkanlah hasil bumi," kata Eda, Rabu.

Eda juga mengenalkan kepada Kompas.com salah satu tips rahasia membuat nastar yang biasa digunakan oleh nenek moyang orang Portugis.

Usai mencicipi kuliner khas Portugis dan berbincang dengan Eda, acara tur wisata pun selesai. Penutupan kegiatan tur wisata dilakukan di Gereja Tugu, maka semua peserta kembali jalan kaki ke lokasi pertama.

Jika punya waktu luang, tidak ada salahnya kamu sesekali mencoba ikut tur wisata jalan kaki. Apalagi mencoba rute wisata ke kawasan Cilincing, Jakarta Utara.

Jadi, kapan mau ikut tur wisata jalan kaki?

https://travel.kompas.com/read/2023/10/01/080800627/pengalaman-ikut-tur-wisata-jalan-kaki-di-kampung-tugu-jejak-portugis-di

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke