Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (16)

Kompas.com - 27/03/2008, 07:10 WIB

Hah! Sembilan puluh dolar lebih! Mahal amat!. Bukankah harga bensin hanya 3.80 Somoni?

            "Itu harga di Vrang. Di sini, semakin tinggi tempatnya, semakin mahal harga bensinnya," supir itu keukeuh dengan harga yang diberikan. Tidak bisa ditawar. Pilihannya hanya dua, bayar pakai bensin atau dengan lembaran Somoni.

Saya tak punya uang sebanyak itu. Rasa putus asa mendekat di hati saya. Kami terdiam. Akhirnya, supir mobil mengaku, kalaupun saya bayar, bensinnya juga tidak ada. Harus tunggu dulu sampai ada pedagang bensin dari Vrang atau Ishkashim. Ya ampun! Jadi buat apa tadi  saya menawar sampai berbusa-busa. Mungkin itu hanya pengobat bosannya sebagai supir pengangguran.
 
Di tengah kebingungan, tiba-tiba Yodgor berlari menghampiri saya menyampaikan kabar gembira. Tetangga-tetangga sedang sibuk men-charter mobil. Mereka semua hendak ke Murghab, jadi saya bisa menumpang dengan damai. Berangkatnya besok, pagi-pagi buta. Saya hampir meloncat saking senangnya. Terima kasih Tuhan! Saya bisa melanjutkan perjalanan.

Esoknya, pagi-pagi benar, saya berkemas siap berangkat. Saya mengucap selamat tinggal kepada Yodgor, istri dan anak-anaknya. Saya juga pamitan kepada Tilo. Komandan tentara itu, berubah menjadi gembala kambing di pagi hari. Sama seperti Yodgor sang khalifa yang jadi gembala sapi.  Saya juga merasa sangat berat meninggalkan Tilo. Ingin sekali saya tinggal lebih lama di Langar. Saya sangat menghargai perjumpaan dengan Tilo. Semuanya seperti suratan takdir yang serba kebetulan. Entah kapan saya bisa berjumpa lagi dengan komandan yang satu ini.

            "Agar nasib boshad," Tilo seakan membaca pikiran saya, "kalau nasib mengizinkan, pasti kita berjumpa lagi."

                                                                                         ***

Perjalanan ke arah utara memang berat. Jalanan terus menanjak. Di sebelah kanan kami, Sungai Pyanj dengan setia mengalir. Di seberang sana Afghanistan juga setia berderet-deret. Afghanistan di seberang sana adalah Pamir-e-Kalon, Pamir Besar, menyambungkan lembah Wakhan sampai ke negeri China. Di sisi sebelah sini, jeep Rusia dengan tangguh melintasi jalan beraspal. Di seberang sana, jalan setapak kecil di pinggang gunung dilintasi rombongan karavan unta, kuda, dan keledai. Yang nampak hanya rombongan pria bersurban dalam jubah kebesaran. Mereka adalah para saudagar Pashtun yang datang jauh-jauh dari pedalaman Afghanistan ke Pegunungan Pamir untuk membeli ternak dari penggembala nomaden suku Kirghiz.

Dunia di seberang sana, yang dipisahkan oleh sungai selebar 20 meter, adalah dunia lain dari zaman ratusan tahun lampau. Dari jeep yang melaju kencang, saya mengamati unta-unta dan orang bersorban di dunia lain itu.

Perjalanan ini terasa sangat panjang. Karena mobil terlambat berangkat, kami baru sampai di Alichur pukul 10 malam. Setiba di Alichur kami mencari warung untuk makan. Ada sebuah warung kecil di pinggir pemukiman. Suara anjing gembala meraung-raung tanpa henti, mengingatkan saya pada hutan yang penuh serigala. Warung ini gelap gulita. Tak ada listrik di sini. Lampu petromaks menyamarkan wajah-wajah garang para pengunjung warung.

Saya berasa sudah tidak di Tajikistan lagi. Negeri yang semula sangat familiar kini berubah menjadi asing sama sekali. Orang-orang di warung itu duduk di lantai sambil bersantap dan bercengkerama. Mereka berbicara dengan bahasa yang tidak saya pahami. Saya hanya mengerti bahasa Tajik yang menjadi alat komunikasi saya dengan sesama penumpang dari Langar.

Pemilik wajah-wajah sangar di warung itu adalah supir truk dari Kyrgyzstan, negara tetangga di utara sana. Pemilik warung pun wanita etnis Kirghiz. Wajahnya dingin. Tak ada senyum dan kata-kata di mulutnya. Seperti orang Afghan, kami duduk berbaris di atas tikar, menantikan semangkuk sup daging kambing penuh minyak. Kami layaknya murid yang menantikan guru membagikan lembar ujian. Orang-orang Tajik rombongan saya duduk membisu. Warung ini dipenuhi bahasa Kirghiz dan aroma vodka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com