Perjalanan membawa saya ke ratusan pelosok dunia, menganugerahkan ratusan ibu dan bapak yang menyayangi saya seperti anak mereka sendiri. Saya tidak akan pernah lupa dengan mama Kirghiz yang satu ini, yang senyumnya tetap manis menghiasi giginya yang ompong.
Saya menyusuri Jalan Lenin, mengumpulkan kembali serpihan-serpihan memori saya di kota ini dua tahun silam. Tanpa sengaja saya menemukan rumah Mansur, pemuda Uzbek yang mengundang saya menginap selama beberapa hari bersama keluarganya di sebuah gang kecil di dekat bazaar.
Mansur sebenarnya sudah tidak tinggal lagi di Osh. Dia bekerja di Turki sebagai kuli. Gajinya 500 dolar per bulan, jauh lebih tinggi dari apa yang bisa didapatkan di negara miskin Kyrgyzstan. Kebetulan saja dia pulang karena adiknya menikah.
"Kenapa kamu tidak datang kemarin? Kamu mestinya bisa melihat pernikahan khas orang Uzbek."
Saya menyesal karena kegembulan saya yang hanya menghabiskan waktu di kamar losmen setelah kekenyangan menyantap laghman membuat saya melupakan Mansur.
Adik perempuan Mansur baru berumur 17 tahun. Ia sudah menikah dalam usia yang begitu muda. Tanpa pacaran. Ia hanya melihat suaminya satu kali sebelum menikah. Urusan perjodohan diatur oleh kedua keluarga mempelai. Perkawinan ala Siti Nurbaya ternyata masih populer juga di sini.
Orang tua Mansur ternyata juga masih ingat saya.
"Ke mana saja kamu dua tahun ini? Waktu kami melihat ada tsunami di Indonesia, kami sangat takut, jangan-jangan kamu jadi korban. Kamu sama sekali tak pernah berkirim kabar, jadi kami khawatir."
Saya minta maaf, karena alamat email Mansur tak sengaja hilang entah di mana.
Mansur menghidangkan saya piring demi piring nasi plov, makanan khas Uzbek yang menjadi menu wajib acara pernikahan. Sisa kemarin, tetapi masih sangat lezat. Nasi Uzbek ini ukurannya lebih besar daripada bulir nasi Indonesia, tidak menggumpal, dan kulitnya penuh dengan bintik-bintik, seperti gadis Eropa yang menginjak remaja. Dicampur irisan wortel, minyak, dan daging kambing, rasanya sungguh luar biasa.
Di balik tembok rumah Mansur, tersembunyi sebuah taman yang indah. Di taman ini, kami bercengkerama, bersenda gurau tentang hari lalu. Masing-masih bercerita tentang pengalaman selama dua tahun yang terlewatkan begitu saja. Keluarga Mansur dari seluruh penjuru desa masih berdatangan mengucapkan selamat.
Taman mungil ini, dikelilingi tembok padat yang menyembunyikan keindahannya dari luar, memang bagian tak terpisahkan dari arsitektur Persia dan Asia Tengah. Orang-orang Osh hidup dalam dunianya yang makmur. Tidak ada gelandangan. Pengemis pun bisa dihitung jumlahnya. Perdagangan dengan negara-negara tetangga mendatangkan rejeki. Osh, ibu kota selatan Kyrgyzstan, terpisah 800 kilometer jauhnya dari Bishkek, sedang menikmati kemakmurannya di dalam taman pekarangannya yang indah.