Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (78)

Kompas.com - 23/06/2008, 07:57 WIB

Perlahan-lahan pesawat meninggalkan bumi. Sudah lama sekali saya tidak naik pesawat. Seperti anak kecil yang baru pertama kali terbang, saya duduk di pinggir jendela, menyaksikan perubahan spektrum bumi. Kota Tashkent tampak sebagai barisan rumah-rumah berarturan sejauh mata memandang. Menara Tashkent yang tinggi menjulang seperti raksasa yang berdiri sendirian di padang luas.

Pemandangan perkotaan dalam sekejam berubah menjadi puncak-puncak gunung salju. Gagah dan penuh keagungan. Mungkin pesawat ini terbang di atas Tajikistan atau Afghanistan. Kenangan saya melayang pada beratnya petualangan di Pegunungan Pamir, mulai dari perjuangan mendapatkan visa Tajik di Kabul, hingga keluarga-keluarga miskin namun murah hati di sepanjang jalan di provinsi GBAO. Mungkin salah satu dari keluarga tempat dulu saya menginap melihat pesawat ini terbang melintas di atas kebun kentang mereka.

Apakah di bawah itu Tajikistan? Atau Kyrgyzstan? Atau mungkin Afghanistan? Atau malah mungkin kita masih di atas wilayah Uzbekistan? Di angksa, garis-garis batas negara di muka bumi sana menjadi tanpa arti.

Saya teringat betapa beratnya melintas perbatasan, frustrasi dengan visa yang hampir kadaluarsa, atau menunggu berhari-hari di jalan gunung karena tidak ada kendaraan yang lewat, atau supir yang meminta dibayar pakai bensin, juga pelecehan seksual yang saya alami waktu menumpang truk. Di sini, di tempat saya duduk sekarang ini, ribuan kaki di atas bumi, semua rintangan dan halangan di darat terlewati dalam hitungan detik. Dengan kecepatan 989 kilometer per jam, bulan-bulan penuh perjuangan di Asia Tengah di atas daratan yang berkerut-kerut sama dengan perjalanan udara beberapa menit saja. Tetapi inilah keajaiban sebuah perjalanan. Ratusan hari perjalanan darat memang bisa digantikan dengan beberapa menit penerbangan, tetapi kebijaksanaan yang diajarkan oleh alam tak terbandingkan.

Tetapi perjalanan udara bukannya tidak memberikan saya pelajaran apa-apa. Pertama kalinya saya terbang dengan pesawat yang penuh orang Rusianya, yang sudah tidak perlu diragukan lagi kebiasaan menenggak alkoholnya. Pramugari Uzbek, yang perutnya besar-besar, harus lincah ke sini ke sana menghidangkan vodka bagi penumpang yang tak pernah bisa berhenti minum. Tak sampai dua jam, banyak penumpang yang mabuk berat. Pesawat ini seketika berubah menjadi rumah sakit jiwa. Ada yang berteriak-teriak minta dilayani, menghujat pramugari yang lamban. Pramugari pun tak mau kalah, menjerit memaki-maki penumpang mabuk.

Ada gadis mabuk yang tiba-tiba berdiri di hadapan penumpang, berteriak-teriak marah tak karuan. Gadis cantik berambut pirang ini tiba-tiba digeret gadis lain yang langsung menempelengi pipinya. Ada yang tertawa. Ada yang menangis. Pengalaman terbang macam apa lagi ini?

Belum reda ribut-ribut di pesawat, di belakang tempat duduk saya, nyonya Malaysia keturunan Tionghoa tiba-tiba marah dengan seorang pria yang duduk di sampingnya, mungkin saudaranya. Dia menjerit dengan bahasa China, menghujat-hujat dengan kata yang sangat tak enak didengar, disambung dengan "Plak... plak... plak..." Si nyonya menampar laki-laki itu dengan majalah pesawat yang lumayan juga tebalnya, sambil tanpa henti terus menghujat.

Pesawat ini memang tak pernah diam. Orang mabuk silih berganti. Bahkan film yang diputar pun aneh-aneh. Ada humor Rusia orang tampar-menampar di bioskop, sementara yang lainnya cium-mencium dengan mesra. Ada lelucon tentang gay yang dikejar-kejar dan dipukul-pukul. Semua yang ada di atas pesawat ini memang aneh-aneh. Hasil kombinasi dengan ketepatan tingkat tinggi antara Uzbek, Rusia, dan Malaysia.

Pukul 10 malam pesawat tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Khursed, pelajar Uzbek yang duduk di samping saya, terbengong-bengong melihat megahnya bandara Malaysia, yang bukan tandingan bandara mungil Tashkent. Kami segera menuju ke imigrasi.

            "Kami ini dari Republik Kirghiz!!!" kata seorang pria berwajah Mongoloid dengan penuh kemarahan, ditolak masuk oleh petugas imigrasi karena tidak punya visa, "kami ini tidak butuh visa untuk datang ke Malaysia! Lihat paspor kami: Republik Kirghizia!!!"

Polisi Malaysia berjilbab sibuk bolak-balik dari kaunter ke ruang pemeriksaan, memastikan keberadaan sebuah republik bernama Kirghizia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com