Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (82)

Kompas.com - 27/06/2008, 08:43 WIB

Banyak sekali antrean dan loket-loket, saya sampai tidak tahu harus antre di mana. Saya antre di depan loket yang orangnya paling sedikit. Tiga puluh menit menunggu sampai akhirnya saya tiba persis di depan loket, dan si mbak yang berdiri di balik kaca dengan jutek lagi judes menyuruh saya untuk antre di loket lainnya. Kejudesan dan hobi berteriak-teriak pegawai pemerintahan di negara-negara bekas komunis memang sudah tersohor. Konsumen sama sekali tidak perlu diperlakukan sebagai raja.

Loket-loket yang banyak ini ternyata berbeda-beda tujuannya. Ada loket pembelian tiket hari ini, dua hari lagi, hingga booking satu minggu ke depan. Ada loket untuk kereta menuju Turkmenabat, ada yang untuk Darvaza. Memusingkan dan campur aduk. Semua informasi ditulis dengan bahasa Turkmen. Begitu antipatinya Turkmenistan terhadap Uni Soviet sampai-sampai tulisan bahasa Rusia benar-benar dihapus dari peredaran sama sekali.

Setelah bersusah payah mengantre di berbagai loket, akhirnya saya berhasil mendapatkan tiket ke Turkmenabat, keberangkatan besok lusa. Sebagian besar tiket sudah habis terjual. Yang tersisa cuma tiket kelas ekonomi, duduk di atas bangku kayu keras dan dijamin uyel-uyelan. Tak apa, daripada tidak berangkat sama sekali.

            "On besh ming Manat, 15.000 Manat," kata si ibu penjual tiket yang masih lumayan ramah.

Berapa? Apa saya tidak salah dengar? 15.000 Manat, kira-kira 5.400 Rupiah. Ini biaya perjalanan dari Asghabat ke Turkmenabat, 600 kilometer jauhnya di atas kereta super lambat yang merambat selama 16 jam.

Mimpi indah Abad Emas yang menjadi kenyataan. Semua gratis, semua murah. Tiket pesawat dari Ashgabat ke Turkmenabat harganya hanya sekitar 14.000 Rupiah saja. Harga seliter bensin hanya 300 Manat, sekitar 120 Rupiah. Mau isi bensin full tank pun tak sampai sepuluh ribu Rupiah. Jangan lupa harga tiket bus kota yang cuma 50 Manat, 20 Rupiah saja. Gas, air, listrik, semua gratis. Bahkan di negeri padang pasir yang kering kerontang ini, air mancur mewah bertebaran di pojok-pojok Ashgabat, memberi ilusi tentang kemakmuran oasis padang pasir.

Abad 21 adalah Abad Emas Turkmenistan. Saya selalu teringat slogan itu. Altyn Asyr, Abad Emas, sekarang menjadi nama dan jargon favorit di negeri ini. Untuk apa ke luar negeri, kalau semua gratis dan murah di negeri utopis ini? Saya teringat Rita yang jauh lebih bangga akan kemajuan Turkmenistan daripada kemewahan kapitalisme Kazakhstan.

Hari ini adalah ruhgun, hari roh, hari Sabtu. Aneh, roh saya tiba-tiba ikut bersorak bersama kemakmuran dan kejayaan Abad Emas.


(Bersambung)

____________

Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com