Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (14): Altar Mao Zedong

Kompas.com - 21/08/2008, 06:56 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Potret pemimpin Partai Komunis China itu kini bersanding di altar, di samping gambar Boddhisatva Avalokiteshvara, Sang Dewi Kwan Im. Sesajian, lilin, bunga, dan lampu mentega menghiasi sudut rumah yang paling terhormat ini. Apakah Mao sudah menjadi dewa bagi orang Tibet?

Dari Darchen ke arah selatan kendaraan sangat jarang. Tak banyak yang melintas dari sini ke arah Lhasa kecuali turis. Sehari mungkin hanya ada satu kendaraan, malah kadang tiga hari pun tak ada sama sekali.

          “Untung-untunganlah, lihat nasib,” kata Xiao Wang, pemilik warung Sichuan di Darchen.

Saya pun mencoba peruntungan saya hari ini, berangkat dengan kaki yang masih pincang ke arah jalan umum tiga kilometer di selatan Darchen, mencegat truk yang lewat, naik bak terbuka, diaduk-aduk bersama kambing di atas jalan yang bergerunjal.. Seorang biksu, yang sama-sama menumpang truk itu bersama kawanan kambing, hanya memandang tanpa ekspresi.

Suara motor truk berderu kencang, menenggelamkan semua bunyi di bak terbuka. Saya harus berteriak-teriak untuk bicara dengan biksu itu, yang kemudian dibalas dengan pandangan penuh tanda tanya karena tak mengerti bahasa Mandarin. Truk bergoyang hebat, menggoncang semua yang ada di atas bak terbuka seperti gempa bumi skala dahsyat. Kawanan kambing hanya pasrah menerima nasib. Saya pun pasrah memeluk tiang di pinggiran bak, berdoa semoga perjalanan ini cepat sampai.

Setengah jam jalan, truk langsung berhenti. Cuma sampai Barga, dua puluh kilometer di selatan Darchen. Saya melompat dari bak truk. Debu langsung mengepul. Setelah membayar dua puluh Yuan, sopir pun mematikan mesin.

Ini adalah desa kecil berdebu di dekat pos pemeriksaan tentara. Rumah berbentuk kotak-kotak dari tanah liat bertebaran di pinggir jalan. Bocah-bocah berjaket seragam sekolah, berkulit hitam terbakar matahari, langsung mengerubuti sambil tertawa senang. Wajah penuh debu. Ingus masih menempel di bawah lobang hidung, mengering. Mereka melompat-lompat riang sekali, melihat makhluk asing yang entah dari mana.

          “Shushu...shushu... paman.... paman....” Saya langsung berasa tua dipanggil ‘paman’.. Sepasang petualang China tertawa terbahak-bahak.

          “Mau ke Lhasa ya?” tanya Rui Liang, pria kurus ceking dan tinggi. “Dari sini tidak mudah. Kendaraan sangat jarang,” kata Paopao, si gadis berkaca mata besar, berjaket merah menyala.

Keduanya datang jauh-jauh dari Shenzhen, berkeliling Tibet selama berminggu-minggu dengan menumpang truk di jalan. Mereka dalam perjalanan yang berlawanan arah dengan saya, datang dari Lhasa lewat jalur selatan menuju ke Gunung Dewa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com