Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (30): Nyaman di Nyalam

Kompas.com - 12/09/2008, 08:41 WIB

          “E.... saathi...teman...,” Ding berusaha mengajaknya berbicara dengan kosa kata bahasa Nepalnya yang cuma itu.

Penyelundup itu diam saja. Saya mengajak bicara bahasa Hindi, juga tak ditanggapi. Terkadang ia menggumam sendirian. Ia tertunduk lesu di samping saya. Tangannya tidak diborgol, tetapi ia sendiri pun tak tahu nasib apa yang akan dialami.

Penduduk Nepal di perbatasan boleh melintas ke Tibet tanpa visa dan dokumen, tetapi hanya sampai ke Zhangmu dan Nyalam. Lebih dari itu, mereka harus punya dokumen lengkap. Nampaknya pria ini berusaha masuk lebih jauh ke dataran China lewat Nyalam. Sungguh nekad, karena tentara, polisi, dan mata-mata China tersebar di seluruh penjuru Tibet.

Menjelang tengah malam kami baru sampai ke Nyalam. Pos polisi memasang portal, kota ini sudah tertutup untuk perlintasan kendaraan apa pun. Pertama-tama kami sibuk menyerahkan tangkapan Nepal ini. Tentara pun sebenarnya bingung mau diapakan orang Nepal ini. Orang itu akhirnya dibiarkan berkeliaran bebas di Nyalam. Kemudian Ding merayu polisi untuk diizinkan lewat. Karena sibuk, polisi pun lupa memeriksa dokumen para penumpang. Saya yang juga penyelundup malah melenggang nyaman di kota Nyalam.

           “Setiap hari ada kuota jumlah truk yang boleh lewat sampai Zhangmu,” kata Ding, “cuma sepuluh per hari, dan kita terlambat. Malam ini terpaksa kita menginap di sini.”

Kami mencari rumah makan dan penginapan Sichuan. Xiao Bai dan pasangannya datang belakangan. Kami makan bersama, semua Xiao Bai yang bayar.

          “Kamu sudah tak ada uang lagi. Namanya sesama tukang jalan, kita harus saling tolong-menolong.”

Ding makan di meja sebelah. Dengan pemilik hotel yang sesama orang Sichuan, dengan bangga Ding bercerita tentang anak Tsinghua yang menumpang truknya.

          “Dari sepuluh juta orang, hanya dua yang bisa masuk Tsinghua! Satu anak Tsinghua masih jauh lebih berharga dari seluruh kota Nyalam beserta segala isinya!” Pujian yang terlalu tinggi, diulang-ulang tanpa henti. Saya sampai tak enak hati mendengarnya.

Bahkan tanpa sepengetahuan saya, Ding sudah membayar kamar saya menginap di losmen ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com