Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (33): Pagi di Kathmandu

Kompas.com - 17/09/2008, 09:07 WIB

Pagi hari juga waktunya para kuli bekerja, mengangkut barang yang beratnya sampai puluhan kilogram. Yang membedakan kuli Nepal dengan di negara-negara lainnya adalah, di sini orang mengangkut beban berat dengan memanggul di punggung, diikat dengan tali, dan bertumpu pada kepala. Tentunya kepala mereka sangat kuat, bahkan hingga sanggup menahan beban lemari es dua pintu.

Penarik rickshaw sudah berkeliling gang-gang kecil, mencari penumpang. Sungguh menakjubkan, gang kota kuno Kathmandu yang tak lebih dari empat meter lebarnya ini, masih penuh dengan manusia, sepeda, motor, bahkan mobil. Walaupun semua kendaraan yang masuk dalam kekusutan kota ini harus berjalan merayap karena campur aduk dengan manusia, anjing, jalan becek, dan proyek kabel listrik, tetap saja kota kuno ini menjadi lintasan wajib segala jenis kendaraan.

Zaman terus berputar. Modernitas dunia berpadu dengan tradisi-tradisi kuno yang terus hidup di Kathmandu. Di samping gadis-gadisnya yang nampak ayu dibalut sari warna-warni, anak muda Kathmandu sekarang sudah trendi dengan T-shirt dan celana jeans. Apalagi kota ini banjir turis mancanegara, mode fashion apa pun sudah menjadi biasa.

Yang paling populer saat ini adalah kaos dengan tulisan-tulisan aneh seperti “I’m Sorry” atau “I sleep only with the best”. Entah mengapa pemuda di sini, mulai dari tukang kue, penjaga toko, sampai penarik rickshaw suka memakai kaos ini. Beberapa pesan di atas kaos juga mengundang gelak tawa, semisal, “No money? No problem! No car? No problem! Guess What? No Date!!!”

Pagi-pagi begini, tak ada yang lebih nikmat daripada secangkir teh susu panas di pinggir lapangan. Roti paratha sungguh lezat dipadu dengan segarnya teh susu. Saya sangat suka makanan tradisional Nepal. Selain nasi dhal bat, bakmi goreng daging kerbau juga mirip makanan Indonesia.

Umat Hindu dan Budha masih terus berdatangan ke lapangan. Bau dupa dan harum bunga semerbak mengisi pagi. Denting lonceng dan mantra mengingatkan akan ritual yang tak pernah berakhir di negeri penuh cinta kasih ini.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com