Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (51): Lereng Curam

Kompas.com - 13/10/2008, 07:52 WIB

Bukit terjal delapan puluhan meter, harus didaki pada kemiringan nyaris tegak lurus.

Mundur, kalah dalam perjuangan, bukan hanya harus menempuh jalan balik yang lebih berat, tetapi juga harus berjumpa dengan barisan trekker yang masih dipenuhi semangat untuk terus melangkah maju. Seperti saya yang banyak bertanya pada si gadis Belanda, ada lusinan pendaki lain yang menanyakan keadaannya, sebab-sebab ‘kekalahannya’, sambil menaburkan sejumput iba. Yang terakhir ini yang paling tidak menyenangkan.

          “Seberat apa pun, tetaplah maju! Jangan sampai mundur seperti kami. Tetaplah berjuang, kawanku!” si gadis itu memberi semangat.

Saya menapak perlahan-lahan menuruni ‘tangga langit’ ini. Ucapan itu seakan menjadi siraman segar pada tubuh saya yang sudah banjir keringat.

Setelah tangga langit, masih ada tangga besi rapuh yang melintasi Sungai Marsyangdi. Jembatan gantung ini berayun hebat ketika diseberangi, sedangkan arus sungai menggelegak marah di bawah sana. Porter barang bersandal jepit, yang hampir tertimbun tubuhnya oleh tumpukan barang yang diakutnya, melenggang santai dibuai ayunan jembatan gantung.

Mungkin porter Nepal adalah yang paling tangguh di dunia. Dalam bahasa Inggris disebut sherpa, walaupun sejatinya Sherpa adalah nama sebuah suku gunung Nepal yang hidup di bagian timur negeri ini, di daerah Everest sana dan bukannya di Annapurna. Sherpa di Annapurna kebanyakan suku Gurung dan Tamang – orang-orang pegunungan tangguh yang menjadi bahan baku tentara Ghurka.

Barang yang diangkut mulai dari sayuran, makanan, sampai lemari kayu, dicangklong di pundak, digantungkan pada kepala. Berat beban, bahkan mencapai 80 kilogram, bertumpu pada kepala.

Karena jalanan di sekeliling Annapurna tak bisa ditempuh kendaraan, porter manusia dan tenaga keledailah yang menjadi alat angkut utama menjangkau dusun-dusun terpencil. Dari arah berlawanan juga ada porter, membawa hasil panen dari puncak gunung ke dusun bawah. Seperti truk barang, porter tak ingin berjalan dari arah mana pun tanpa membawa beban.

Akhirnya kami berdua sampai juga di Ili Bir, melanjutkan jalan sampai ke Sangye, dan beristirahat sejenak di Jagat. Keith tampaknya sudah tak sabar menunggu saya yang jalannya merayap perlahan-lahan.

           “Benar kamu dari Indonesia?” seru seorang trekker Jerman. Namanya Jörg, kepalanya botak, badannya kekar. Ia bisa sedikit bahasa Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com