Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (61): Api yang Tak Pernah Padam

Kompas.com - 27/10/2008, 07:39 WIB

Merah, putih, biru, kuning, hijau, barisan mantra bendera doa Tibet dengan gambar Dewa Sakyamuni, membeku dibungkus selapis es. Tempat yang paling tinggi, paling dekat dengan langit, adalah tempat terbaik untuk melantunkan doa. Tangan dan kaki saya sudah kaku, tetapi kegembiraan merasuki hati saya.

Ini pertama kalinya saya merasakan keberhasilan pendaki gunung menaklukan puncak. Inilah tujuan yang dinantikan. Begitu lega rasanya. Dalam sekejap, perjuangan panjang sebelas hari terkilas kembali dalam kenangan. Dari tanah rendah yang panas, air terjun deras, ladang ganja, hutan pinus, padang lumut, gunung gersang, kabut awan, dan kini – puncak salju. Perjalanan, perjuangan, mimpi dan harapan itu kini tergapai.

Konon suhu di sini sudah minus 20, tak heran ujung kaki saya sudah beku gara-gara sepatu sudah bolong. Kami merayakan dengan secangkir teh lemon panas, di sebuah kemah di tepi tumpukan bendera doa. Tak ada orang yang tinggal di sini. Penjual teh pun harus melintas perjalanan yang berat, tinggal di alam yang ganas, hanya untuk berjual teh. Harganya jadi tak murah, secangkir teh celup dengan sedikit lemon 70 Rupee.

Di sini pun, jejak Nef masih membekas. Memang tak banyak orang Indonesia yang sampai ke sini, dan begitu ada satu saja semua orang langsung ingat.

          “Kamu dari Indonesia juga? Kemarin ada orang Indonesia yang sampai sini, naik kuda. Kamu kenal?” tanya pedagang teh di kemahnya.

Bahkan pin Indonesia ikut berkibar bersama bendera doa yang sudah beku, mungkin ditinggalkan Nef yang nasionalis, menunjukkan bahwa Indonesia sudah pernah sampai ke sini.

Seperti pepatah China yang sudah saya modifikasi sedikit – Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi, mencapai Thorung La bukan berarti perjuangan berakhir. Dusun terdekat yang dihuni manusia adalah Muktinath. Letaknya 1600 meter di bawah. Kami menempuh perjalanan naik perlahan-lahan, selama berhari-hari. Sekarang dari ketinggian 5416 meter kami langsung terjun ke 3700 meter dalam sekejap. Dan kami harus ke sana cepat-cepat, karena setelah tengah hari Thorung La akan dilanda badai angin dingin.

Sekarang turun, turun, dan terus turun....

          “Jangan khawatir, sehabis Thorung La lintasannya datar dan mudah,” kata Shri Gurung.

Jangan percaya ‘datar’ dan ‘mudah’ nya orang gunung. Perjalanan menuju Muktinath melintasi lereng curam diselimuti pasir licin, adalah lintasan yang paling susah yang pernah saya jalani. Memandang Muktinath yang begitu rendah seperti memandang bumi dari langit. Nafsu menggebu ingin segera mencapai tempat itu, tetapi semakin terbawa nafsu, semakin sering saya terpeleset, jatuh terduduk.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com