Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (69): Paharganj

Kompas.com - 06/11/2008, 06:20 WIB

           “Accha, you come short, not my fault! Kamu pendek itu bukan salah saya!” demikian ia menutup argumentasinya.

Mendengar kalimat terakhir itu, saya langsung balik badan dengan menggumam marah. Entah bagaimana orang India ini berbisnis. Bukannya menyenangkan pembeli malah membuat orang tersinggung. Anehnya, pasar ini masih tetap ramai juga.

Lain lagi ceritanya dengan naik bus kota di New Delhi. Selain selalu penuh sesak sampai tergencet, penumpang juga harus lihai berakrobat karena bus tidak pernah benar-benar berhenti waktu menurunkan penumpang. Pertama kali saya turun dari bus yang masih berjalan, saya terpelanting di aspal. Lama-lama saya belajar, kalau turun caranya kita harus bertahan berlari searah dengan bus, meredakan pengaruh kelembaman, sampai keseimbangan tubuh stabil.

Itu masih belum apa-apa. Yang paling mengesalkan adalah bagaimana sopir memperlakukan para penumpang. Bagi mereka, adalah para penumpanglah yang membutuhkan jasa sopir, sehingga sang sopir punya kuasa untuk memperlakukan penumpang tak berdaya dengan semena-mena.

Pernah suatu hari saya naik bus kota. Tujuan saya adalah terminal terakhir. Belum sampai ke sana, penumpang sudah banyak yang turun, sampai akhirnya hanya tinggal dua penumpang saja.

Tiba-tiba bus berhenti di tepi jalan sepi, entah di mana ini. Nampaknya sang sopir sudah lelah menyetir, dan hasratnya untuk berhenti sudah tak tertahan lagi. Ia mematikan mesin, turun bus dengan santai, dan membanting pintu. Seorang penumpang marah-marah kepada sopir. Tapi sang sopir sama sekali tidak peduli dengan penumpang yang menghamba ini. Dengan gaya yang benar-benar anggun, ia meninggalkan kami berdua dalam kegelapan malam.

Tetapi di antara semua kejadian yang paling menjengkelkan adalah saya tak pernah merasa tenang berjalan di jalanan Delhi. Mulai dari tukang rickshaw, pemilik toko, penjaga warung, semua memanggil dengan nada yang tidak sopan, “Hei! Japani! Orang Jepang! Japani! Ayo sini!” Dalam sehari, entah sudah berapa ratus konnichiwa yang harus saya dengar. Pernah ada pedagang kain yang berteriak ke arah saya “Sayonara!!!” Saya juga langsung menjerit ke arahnya, “Sayonara to you!!!” dan langsung ngeloyor pergi.

Lam Li, seorang backpacker cewek dari Malaysia, punya triknya sendiri. Kalau ada orang yang memanggilnya “Hei, Jepang!” atau “Hei, Korea!” atau seribu pertanyaan tak ramah yang selalu sama, “Which country?”,  ia langsung menjawab “No Japani! Papua Nugini!” atau “Aku orang Burkina Faso!” Terkadang orang yang berteriak bingung juga, tak pernah dengar ada negara berjudul Papua Nugini atau Faso-Faso. Tetapi ada juga tukang rickshaw yang manggut-manggut seperti mengerti, lalu dengan keukeuh berkata, “O, jadi kapan kamu pulang ke Korea?”

Tak semua orang yang datang ke India mengalami ini. Tak semua orang mau tinggal di losmen murah di tempat kumuh macam Paharganj atau berdesak-desakan dalam bus kota New Delhi. Tetapi nampaknya saya masih harus banyak-banyak mengkalibrasi “mata kota” saya, untuk lebih dapat menikmati selaput-selaput pembungkus India dari sisi yang berbeda.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com