Saya duduk dalam sebuah bus ber-AC. Harga karcis ke Jaipur 260 Rupee. Tetapi belakangan saya tahu, tiap penumpang membayar harga berbeda, tergantung spektrum kepandaiannya. Saya termasuk penumpang bodoh. Bukan saja membayar mahal, tetapi malah termakan janji gombal sopir dan kernet bahwa bus akan segera berangkat dalam hitungan menit. ‘Menit’ dalam skala India bisa berarti skala tiga jam.
Pelajaran pertama yang saya dapatkan – jangan sekali-sekali membayar karcis angkutan sebelum yakin bus berangkat. Saya menyesal tidak bisa pindah bus karena sudah terlanjur bayar karcis. Perut keroncongan dan hati diliputi kejengkelan ketika matahari sudah sangat tinggi pukul 12 siang. Padahal saya berangkat dari losmen jam 8 pagi, sampai sekarang masih bergeming di terminal bus New Delhi. Bukannya langsung berangkat, sopir malah melempar saya ke bus lain.
Perjalanan ke Jaipur sangat lambat, padahal melintasi Delhi-Jaipur Expressway yang beraspal mulus. Katanya ini bus langsung eksekutif, tetapi nyatanya berhenti di mana-mana untuk memungut penumpang. Semakin lama, bus ini semakin penuh, dengan puluhan penumpang yang tak dapat tempat duduk terpaksa bersila di lantai kendaraan. Mereka mengomel pun tidak, mungkin sudah terbiasa dengan perlakuan sopir yang semena-mena seperti ini.
Memasuki Jaipur, pemandangan langsung berubah menjadi padang pasir. Barisan unta menggeret kereta, mengangkut balok kayu, menyusuri jalan beraspal. Matahari terbenam menebarkan warna merah keemasan di seluruh penjuru padang yang datar.
Jaipur, dijuluki sebagai Kota Merah Jambu, adalah ibu kota negara bagian Rajasthan. Kota ini didirikan oleh Maharaja Jai Singh II, yang menjadi asal usul namanya. Dijuluki Pink City karena banyak bangunan bersejarah berwarna merah muda di kota ini. Sekilas dari balik jendela bus saya sama sekali tak melihat warna pink. Yang ada malah sebuah kota modern yang tertata rapi, jauh dari kesan kumuh Paharganj di New Delhi yang ibu kota negara.
Saya sampai di Jaipur ketika langit sudah gelap. Mencari penginapan dalam kegelapan malam bukanlah pekerjaan mudah, apalagi di kota yang sama sekali asing ini. Tukang auto rickshaw mengantar saya ke losmen yang katanya murah, tetapi harganya masih mahal buat kantong saya – 200 Rupee. Semua losmen di sekitarnya harganya juga di atas itu. Penginapan yang murah tak berani menerima orang asing.
Sampai pada akhirnya saya menemukan ‘hotel’ ini. Letaknya di Banasthali Marg, tak jauh dari gerbang kota Jaipur. Harganya cuma 100 Rupee per malam. Sebenarnya saya sudah cukup senang dengan menemukan kamar murah ini. Tetapi kemudian, sesuai dengan harga yang dibayar, yang saya dapatkan adalah kamar gelap dan bau, toilet yang pipanya sudah berkarat semua, dan air yang tak mengalir sama sekali. Ranjangnya tipis. Waktu tidur saya merasa seperti seorang pertapa yang bermeditasi menyiksa diri di atas kasur jarum.
Kamar ini letaknya di pinggir jalan. Jalan ini letaknya dekat terminal. Sepanjang malam, setiap lewat lima menit, ada bus atau truk yang melintas. Getaran kendaraan berat yang menggoncang jalan kuat sekali. Di atas kasur keras saya sepert digoyang gempa.
Mungkin benar kata Lam Li, India bukan tempat untuk ber-‘istirahat’.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!