Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (78): Dunia Memang Kecil

Kompas.com - 19/11/2008, 08:07 WIB

           “Sayang di India tembok-tembok bangunan kuno semua kokoh dan tinggi, sulit dilompati,” keluhnya.

Hari ini ia mengenakan rok merah jingga sepanjang mata kaki. Feminisme yang sungguh kontras dengan rambutnya yang nyaris botak.

          “Namanya juga benteng,” tukas saya, “kalau turis saja bisa lompat dengan mudah, apalagi kalau diserang pasukan musuh, pasti langsung hancur.”

Dengan berat hati pula kami membayar harga tiket masuk Benteng Amber. Harganya 180 Rupee, sedangkan orang India membayar tidak lebih dari 10 Rupee. Bukan rasa ketidakadilan sebenarnya  yang membuat berat, tetapi harga tiket itu cukup menyakitkan untuk ukuran dompet saya yang memang sudah tipis.

          “Jangan kuatir,” kata Lam Li seolah membaca pikiran saya, “di setiap kota kita cuma akan mengunjungi satu tempat saja yang mesti bayar tiket. Dengan demikian kita masih bisa mengirit tetapi tidak sampai rugi.”

Bagian dalam Benteng Amber sangat luas. Selain pintu gerbang yang tinggi berpuncak dua kubah, juga ada barisan benteng panjang, istana, kuil untuk Dewa Ganesh, sampai ruangan khusus para selir. Benteng Amber memang bukan cuma sekadar benteng. Sejatinya ia adalah sebuah kompleks istana yang lengkap bak sebuah kota kecil di puncak gunung. Menyusuri pintu-pintu yang bersambungan, lorong-lorong yang berliku, kami merasa seperti berada di rumah sesat dari masa lampau.

Lam Li memang berjiwa petualang. Walaupun matahari semakin terik, dia masih bersemangat mencoba memasuki semua lorong dan pintu, hingga kami menemukan tempat-tempat paling tersembunyi dari istana ini.

           “Apa rencana perjalanan kamu setelah India?” saya bertanya, ketika kami menuruni bukit terjal kembali ke jalan raya.
           “Aku ingin ke Pakistan, Afghanistan, Iran, terus sampai ke Eropa, dan dari sana lewat Rusia, Mongolia, China, jalan darat terus sampai ke Malaysia.”

Saya terkesima oleh rencana perjalanannya yang tidak biasa. Seorang gadis, seorang diri, punya ambisi petualang yang begitu dahsyat.

Lam Li mengingatkan saya pada seorang petualang wanita Malaysia lainnya yang pernah saya jumpai di stasiun kereta api kota perbatasan Mongolia tiga tahun silam. Si gadis Malaysia itu juga punya cita-cita sama seperti Lam Li, berangkat dari Malaysia lewat Kamboja, Vietnam, China, Mongolia, terus naik kereta api Trans-Siberia lewat Rusia sampai ke Eropa. Perjalanan si gadis itu menjadi inspirasi saya akan sebuah perjalanan akbar yang akan terus dikenang sepanjang hayat. Si gadis Malaysia itulah yang membuat saya bermimpi, terus bermimpi, hingga akhirnya saya berada di sini, di tengah perjalanan keliling dunia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com