Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (95): Skeptis

Kompas.com - 15/12/2008, 07:54 WIB

          “Tak jadi berangkat pun tak apa-apa,” saya langsung melengos.

Tak disangka, pria kurus itu main fisik. Ia menyambar karcis saya, membubuhkan macam-macam tulisan dan angka. Saya masih tak peduli, terserah ia mau corat-coret apa pun. Merasa tak berhasil, pria ini pun menurunkan harga,

          “Begini saja. Bagaimana kalau bayar 30 Rupee saja?”

Sekali tidak tetap tidak. Saya tak berminat mengikuti permainannya. Melihat tekniknya tak mempan dengan saya yang terlalul acuh, akhirnya ia menyerah.

          “Ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana?”
          “Polu!” saya menjawab ketus.

Tak disangka, kata itu bagaikan mantra ajaib. Pecundang karcis itu langsung gelagapan, terkejut.

          “Hah? Kamu teman Polu? Aduh maaf sekali... Polu teman baik saya. Kami berteman akrab. Dia orang baik...”

Saya teringat, seorang pemilik warung di Pushkar yang menganjurkan saya untuk menginap di losmen Polu. Ia mengatakan, Polu adalah orang yang dihormati di Jaisalmer. Ia orang baik. Tetapi saya tak menyangka, sebaik-baiknya pemilik hotel ternyata namanya saja sudah sanggup untuk meruntuhkan benteng ego seorang calo tiket.

           “Tetapi kawan, walaupun kamu teman Polu, kamu tetap harus bayar 10 Rupee ekstra.”
Buat apa lagi?
           “Untuk menaruh barang di bagasi. Sepuluh Rupee saja. Tas kamu terlalu besar, tak boleh dibawa naik bus.”

Lagi-lagi uang. Seingat saya, saya tak pernah bayar untuk menaruh bagasi. Bukankah harga tiket termasuk barang bawaan penumpang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com