Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (100): Sakit Kuning

Kompas.com - 22/12/2008, 07:15 WIB

Setelah penantian yang begitu panjang, akhirnya waktu tidur pun tiba. Saya langsung terlelap dalam kegelapan, meringkuk sambil memeluk tas kamera. Tiba-tiba di samping saya menyeruak sesosok badan.

           “Ayolah, kawan,” suara pemuda yang tadi memaksa saya berbagi makanan dengannya, “saya tak punya tempat tidur. Geserlah sedikit, kita tidur sama-sama.”

Saya mengusirnya. Malam ini saya merasa lemas sekali, tak kuat rasanya harus berdesak-desakan tidur di ranjang sempit ini.

Ada yang aneh. Saya terbiasa dengan perjalanan berat dalam kereta api selama berada di China. Duduk di kursi keras selama 48 jam nonstop sama sekali bukan masalah. Tetapi mengapa sekarang saya begitu lemah? Perjalanan Jaipur-Mumbai hanya 18 jam, tetapi saya hampir pingsan ketika sampai di Mumbai. Belum lagi saya harus menggotong ransel mencari penginapan murah di daerah Colaba, yang sulit sekali. Semuanya di atas sepuluh dolar per malam. Yang paling murah adalah sebuah kamar bak penjara berukuran 1 x 2 meter, bersekat gabus, tersembunyi di puncak sebuah apartemen yang tak mencolok.

           “Kawan,” sapa seorang pegawai kantor pos Mumbai, “maaf kalau saya lancang. Kamu sakit?”
           “Tidak,” jawab saya.
           “Matamu kuning. Mungkin kamu kena infeksi.”

Kuning? Saya tidak pernah mendengar gejala penyakit mata kuning. Mungkin orang itu salah bicara. Ia mengambil semua cermin saku. Saya terloncat melihat wajah saya. Kuning, benar-benar kuning. Saya teringat orang-orang di pemukiman kumuh Paharganj di New Delhi yang matanya tak bercahaya, entah apa sebabnya. Dan sekarang saya menjadi seperti mereka.

Saya panik, luar biasa.

          “Jangan khawatir,” kata petugas pos itu, “Coba kamu periksa ke dokter, istirahat yang cukup, banyak minum air tebu, dua minggu lagi mata kamu akan putih kembali.”

Saya teringat nafsu makan saya yang tiba-tiba hilang, rasa mau muntah setiap kali melihat makanan gorengan. Juga rasa lelah yang berlebihan, urine yang berwarna gelap seperti teh kental.

Saya segera menuju ke rumah sakit St John Hospital No.1, salah satu yang terbaik di kota ini. Di pelataran, seorang kakek penderita lepra terbaring di pinggir got. Rambutnya putih keriting. Tak berpakaian. Pinggangnya hanya dibalut lunggi putih yang kumal. Kaki kirinya terjuntai ke dalam lubang. Telapak kakinya keputihan, mulai membusuk. Dokter hanya lewat begitu saja, seolah tak melihat seonggok manusia yang menanti maut terbaring di tepi lubang hitam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com