Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (110): Chalo, Pakistan

Kompas.com - 05/01/2009, 07:22 WIB

Tetapi tak semua manusia itu dapat meraih mimpinya. Pakistan dan India berdiri di atas darah dan nyawa jutaan manusia. Kereta yang penuh berisi umat Hindu dan Sikh yang hendak meninggalkan Pakistan dihentikan di jalan dan penumpangnya dibantai. Demikan juga sebaliknya, Muslim yang meninggalkan India menjadi korban keganasan kaum nasionalis. Diperkirakan sampai sejuta orang tewas dalam peristiwa ini.

Garis Radcliffe membelah Punjab tepat di perbatasan ini. Di sisi India disebut Attari, di sisi Pakistan yang cuma sejengkal jauhnya disebut Wagah. Sejak kelahiran Pakistan, yang ada di sini hanya benci terhadap negeri di seberang.

Chalo, Pakistan!” secara harafiah artinya ‘mari pergi ke Pakistan’.. Tetapi jangan sembarangan ucapkan kata ini di India. Orang India memendam kebencian dan rasa jijik yang mendalam terhadap Pakistan. Mendengar namanya saja sudah membuat mereka bergidik. Membandingkan mereka dengan orang Pakistan atau menyuruh mereka enyah ke negara itu adalah penghinaan yang paling kasar.

Saya teringat waktu saya di Jaipur, saya mengobrol santai dengan seorang pemuda kasta Rajput dari Shimla yang belajar ilmu perhotelan. Orangnya terpelajar, wajahnya tampan, kata-katanya indah. Tetapi begitu saya bicara tentang rencana berangkat ke Pakistan, raut mukanya langsung berubah sinis.

          “Jangan ke sana! Mereka itu orang-orang paling berbahaya di dunia!”

Sejurus berikutnya adalah umpatan dan penistaan terhadap ‘manusia rendah’ yang hidup di negeri muslim itu. Pemuda Rajput ini tak pernah sama sekali bertemu orang Pakistan, apalagi menginjakkan kaki di Pakistan. Tetapi kebenciannya terhadap negeri itu berkobar-kobar, seperti musuh bebuyutan yang tak boleh dimaafkan.

Saya merasakan sendiri betapa besar rasa benci itu bergemuruh di New Delhi waktu diguncang rentetan ledakan bom. Mulai dari tukang rickshaw sampai pedagang kentang langsung menghujat Pakistan. Siapa yang membawa rasa benci yang mendarah daging itu? Media? Guru di sekolah? Pemerintah? Atau film Bollywood yang selalu menggambarkan orang Pakistan sebagai negeri antagonis yang cuma diisi penjahat?

Lagu kebangsaan Jana Gana Mana bergelora, membangkitkan semangat kebangsaan ribuan orang yang duduk di podium. Perbatasan Pakistan – India, sebuah perbatasan sepi di pagi dan siang hari karena susahnya visa, di sore hari menjadi arena pertunjukan raksasa untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Upacara penurunan bendera dirayakan besar-besaran. Tentara perbatasan berbaris dengan langkah berjingkat-jingkat seperti burung, tatap mata yang ganas, gerakan tangan dan kaki yang gagah. Di sebelah sana, tentara Pakistan bak cermin melakukan gerakan yang sama. Mereka bertemu di garis batas, menerima bendera masing-masing, bersalaman sekilas, dan menutup pintu gerbang perbatasan.

Pakistan terasa begitu dekat di hati. Bendera hijau Pakistan berkibar-kibar gagah. Di kejauhan nampak gambar besar Ali Jinnah, tulisan ‘Pakistan’ dan Laillahaillalah. Tetapi pintu menuju negeri itu sudah tertutup. Saya kembali ke arah India dengan langkah gontai. Plakat besar bertulis, “India, Negara Demokrasi Terbesar di Dunia, Menyambut Anda” menyambut saya yang baru datang dari perbatasan. Mungkin untuk mengingatkan siapa saja yang baru datang dari Pakistan tentang kontras Hindustan dari Republik Islam di seberang sana.

Mari pergi ke Pakistan. Chalo, Pakistan.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com