Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (114): Malam Sufi

Kompas.com - 09/01/2009, 07:52 WIB

Genderang besar terkalung di badan seorang pria berjubah, dengan jenggotnya dan rambutnya yang gimbal panjang tergerai. Duk..duk... duk... ia menabuh genderang. Matanya terpejam. Pelan, pelan, pelan, semakin cepat, semakin cepat, hingga cepat sekali. Ada daya hipnotis di dalamnya. Tubuhnya berputar.... semakin cepat, semakin cepat, hingga tubuhnya kabur dalam perputaran. Saya melihat orang-orang yang menonton, mulai menggeleng-gelengkan kepala seperti penenggak ekstasi.

Dua orang penari, yang satu berbaju merah, satunya berbaju putih, menari di tengah lingkaran. Mereka berputar-putar, mengikuti tetabuhan genderang. Kepala mereka bergedek-gedek, berirama bersama tetabuhan genderang. Ketika genderang mereda kecepatannya, gerak bergedek dan berputar itu melambat. Ketika genderang bergema cepat, mereka bergedek dan berputar seperti orang kerasukan. Bunyi terompet berbentuk tanduk yang ditiup seorang pria berambut panjang berjubah merah semakin menambah mistisnya suasana.

Mereka tenggelam dalam trans. Entah kekuatan magis apa yang membuat para penari ini semakin kesurupan. Gerakan berputar itu, gerakan bergedek itu, aroma hashish, asap rokok dan pipa air, atau lantunan doa-doa Islami yang terus mengalir, membawa nuansa magis yang semakin menghanyutkan. Orang-orang berteriak, “Jhulelal! Jhulelal!”, naik turun seperti debur ombak. Jhulelal adalah orang suci yang diagungkan umat Hindu dan di-Sufi-kan oleh umat Muslim.

Semakin malam, suasana semakin menghipnotis. Si penabuh genderang semakin bersemangat menabuh genderangnya cepat-cepat. Semakin cepat, gerakan gedek-gedek dan memutar itu pun semakin menggila, melompat-lompat, membuat tubuh manusia-manusia yang kesurupan semakin kabur tak nampak mata.

          “Penabuh genderang itu sebenarnya tuli,” bisik kawan saya. Dengan ketuliannya itu ia tak merasakan betapa dahsyatnya kekuatan tabuhannya. Musik magis itu sudah menghipnotis banyak penonton di barisan depan. Dua orang turis Jepang, duduk bersila sambil menundukkan kepalanya yang terus menggeleng-geleng cepat tanpa sadar. Umat lain sudah tenggelam dalam rokok, alunan doa, dan irama musik spiritual ini.

Lewat tengah malam, semakin banyak orang yang ikut menari. Keringat mengucur deras. Mata mereka terpejam. Kepala mereka terus menggeleng cepat, hilang terbungkus rambut, kabur dalam remang-remang lampu pekuburan.

Tetabuhan genderang ini bagaikan daya gravitasi yang membuat planet-planet berputar. Para penari terus berputar, melompat, bergedek, berseru, liar bak gasing yang dilepas dari sumbunya. Ratusan bintang yang menghiasi langit malam turut menjadi penonton perputaran manusia-manusia berjubah ini.

Saya hanyut melihat jubah merah penari yang berkibar ketika ia berputar-putar tanpa henti. Sesekali mata saya tertutup, pikiran terasa begitu lega dan damai melihat putaran jubah itu.

           “Mast qalandar!!!!” penabuh genderang berteriak.
           “Mast qalandar mast! Mast qalandar mast! Mast! Mast!” ratusan orang yang duduk di halaman kuburan menyambut teriakannya. Mast qalandar adalah seruan bagi seorang guru Sufi ternama dari abad ke-13, Hazrat Lal Shahbaz Qalander. Mast adalah keadaan di mana seseorang dirasuki ilham, tercerahkan, bersatu dengan kekuatan spiritual yang agung.

          “Dalam keadaan seperti itu,” seorang Sufi berbisik, “ketika mereka sudah tidak sadar lagi apa yang mereka lakukan, mereka merasa begitu dekat dengan Allah, dengan Khuda. Itulah tujuan dari semua ini.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com