Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (117): Melek Huruf

Kompas.com - 14/01/2009, 08:19 WIB

          “Memalukan,” umpat Al ketika kami meninggalkan kantor HERP, “seharusnya ia tak perlu datang ke sini kalau tak suka. Toh dia tidak dipaksa. Apalagi ia juga menerima bayaran!”

Rasa kebanggaannya diinjak-injak oleh isi curhat Alex, yang mungkin juga tak sengaja. Surga Ismaili yang diidam-idamkan Al dikatakan ‘sepi’, ‘dingin’, ‘membosankan’. Tetapi yang dihujat Al adalah tekad si gadis Inggris itu yang masih belum terlalu kuat untuk menjadi sukarelawan di medan yang berat.

Sebenarnya, datangnya sukarelawan asing ke tempat seperti ini juga bukan hal yang buruk sama sekali. Gaji yang diterima Alex tiap bulan bisa dikatakan uang saku saja yang nyaris tidak ada artinya sama sekali. Orang yang berdedikasi dan berkorban untuk lingkungan pun sesekali butuh hiburan dan teman bicara juga, bukan?

Pendidikan di lembah Hunza pun tidak bisa dibilang buruk sama sekali. Angka melek huruf di lembah Hunza nyaris 100 persen, sedangkan menurut data UNICEF tahun 2005, baru sekitar 50% penduduk Pakistan yang bisa baca tulis dan 68 dari 100 gadis Pakistan masih buta huruf.

           “Di tahun 1960an, Pakistan adalah negara berkembang,” kenang kepala Hunza Public School and College, “bahkan kala itu Indonesia, Malaysia, Thailand masih lebih terbelakang. Tapi sekarang? Kita jadi negara terbelakang dan setidaknya Indonesia masih terus berkembang. Apa sebabnya? Kala itu satu kota hanya punya paling-paling satu madrasah saja, tetapi sekarang ada ribuan madrasah.”

Madrasah di Pakistan, yang menurut si kepala sekolah adalah sumber keterbelakangan negaranya, cuma mengajari muridnya ilmu agama tanpa pengetahuan lainnya sama sekali. Tak ada matematika dan ilmu bumi, pelajar madrasah tak belajar geografi dan biologi. Madrasah semakin menjamur di negeri ini ketika para pemimpin negara berkompromi dengan pemuka garis keras demi melanggengkan kekuasaan mereka masing-masing. Agama terus dipolitisasi, menjadi komoditi, dan kini malah membuat negeri ini semakin terpuruk.

Si kepala sekolah terus memuji Presiden Musharraf sebagai seorang pemimpin sekuler yang memikirkan kemajuan rakyatnya, tak segan terjun ke desa-desa untuk memberi penyuluhan, tetapi malah berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan. Saya tak tahu banyak tentang politik terkini Pakistan. Yang saya tahu presiden ini memang kontroversial, banyak yang suka tapi tak sedikit pula yang benci.

Al sangat puas dengan hasil perjalanan hari ini. Ada kegembiraan yang tak terkira menemukan kemodernan berpikir di dusun terpencil di pinggang gunung ini. Tak hentinya ia menawarkan bantuan, sebagai sesama umat Ismaili, kepada beragam organisasi sosial di Hunza. Tentu saja semuanya menyambut dengan senyum riang, apalagi sekarang Al juga mematenkan salah satu bandrol identitasnya yang lain – orang London.

          “Jangan sungkan-sungkan, kalau ingin ke Inggris kontak saya saja, mungkin saya bisa bantu,” tawarnya. Dalam sekejap ia sudah mendapat setumpuk alamat email dari penduduk desa yang tertarik ‘membina hubungan’ dengannya.

Malamnya Al diundang oleh jemaah Ismaili di Karimabad. Hari ini hari Kamis, waktunya sembahyang bersama di jemaatkhana – masjidnya orang Ismaili. Sembahyang orang Ismaili berkonsep sebagai hubungan langsung antara Tuhan dengan manusia, tidak perlu dilihat orang. Tidak ada pengeras suara melantunkan adzan, mereka beribadah dalam kesunyian ditelan gunung-gunung raksasa yang mengelilingi..

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com