Ketika pulang, ia begitu gembira.
“Saya mendapat penghormatan paling tinggi dari komunitas Ismaili,” katanya sambil menunjukkan sebuah topi pakkol beratap datar dengan bulu burung menyembul di salah satu ujungnya, “ini adalah hibah untuk tamu yang paling terhormat. Para tetua desa bahkan menari. Bayangkan, tari tradisional Hunza! Mereka berputar mengelilingi lingkaran, mengepakkan tangan seperti burung elang, lambat-lambat. Tetapi jujur saja, bukan tarian favorit saya.”
Ada kebanggaan dan keriangan tiada tara, menemukan komunitas orang seiman. Di akhir ceritanya Al membisiki saya, “Mungkin selanjutnya saya harus berhenti menggembar-gemborkan kalau saya dari London. Mungkin, walaupun saya tak tahu pasti, ada dari mereka yang berteman dengan saya semata-mata karena saya orang Inggris.”
Itulah identitas. Ada orang yang gila karena tak punya identitas. Ada orang yang punya seabrek identitas, bertumpuk-tumpuk, punya kebebasan untuk menonjolkan identitas yang mau ditampilkan. Dan manusia berinteraksi dengan saling meraba identitas, penyesuaian kepentingan, dan kemudian menemukan identitas-identitas baru yang tak pernah disadari sebelumnya.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!