Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wagyu dari Lampung

Kompas.com - 16/01/2009, 10:23 WIB

Menjelang Natal yang lalu, William Wongso mengajak teman-teman Jalansutra mencicipi wagyu – daging sapi unggulan dari Jepang yang sedang naik daun. Tentu saja, karena sudah agak lama tidak “masuk kelas”, langsung saja peserta tutorial ini membludak. Pendaftaran terpaksa ditutup setelah mencapai 50 orang. Maklum, WKA (William Kafe Artistik) tidak dapat menampung lebih dari jumlah itu.

Wagyu sebenarnya adalah istilah yang salah kaprah. Wa berarti Jepang, dan gyu berarti sapi. Tetapi, di kalangan industri kuliner dan para penikmat makanan, wagyu secara umum dipahami sebagai jenis daging sapi khusus dengan kualitas marbling (pola seperti urat marmer yang terbentuk dari lemak tak jenuh di dalam daging). Kontras warna putih (intramuscular fat) dan merah (daging) itu memang tampak seperti motif irisan batu pualam. Kondisi seperti itu menghasilkan daging yang sangat empuk, sehingga harganya pun sangat tinggi.

Untuk mencapai kualitas daging seperti itu, hanya beberapa jenis sapi tertentu saja yang dapat dibudidayakan – yaitu jenis Japanese Black, Japanese Brown, Japanese Polled, dan Japanese Shorthorn. Sapi-sapi pilihan ini kemudian dibudidayakan dalam lingkungan khusus, termasuk pakan dan pola makannya, sehingga dagingnya mengandung omega-3 dan omega-6 (kolesterol baik, ingat?) yang kadarnya lebih tinggi dibanding daging sapi biasa. Semakin tinggi pola marbling-nya, semakin tinggi kandungan lemak tak jenuh dibanding lemak jenuhnya.

Keistimewaan wagyu tentu saja membuat orang Amerika iri. Sebagai penikmat daging sapi, mereka juga mengingini daging sapi yang empuk dan manis seperti wagyu. Beberapa peternak sapi Amerika pun kemudian mendatangkan sapi-sapi Jepang untuk dibudidayakan di berbagai peternakan di California. Agar lebih tahan dengan cuaca Amerika, sapi-sapi Jepang itu disilang dengan jenis angus yang tipikal Amerika. Hasilnya adalah American Style Kobe Beef yang sekarang dipasarkan ke seluruh dunia.

Australia pun kemudian meniru sukses Amerika dan melakukan peternakan wagyu secara besar-besaran. Wagyu produksi Australia ini pun kini dipasarkan secara luas ke seluruh dunia, termasuk ke Jepang untuk memenuhi peningkatan konsumsi daging sapi di sana.

Belakangan ini, satu perusahaan Indonesia pun melirik peluang itu. Bekerja sama dengan peternak Jepang dan Australia, mereka telah mendatangkan 300 ekor sapi untuk digemukkan di Lampung. Makanannya khusus, yaitu jagung. Dan sapi-sapi ini pun kerjanya hanya makan, makan, dan makan belaka. Sengaja dibatasi geraknya agar tidak terjadi pembentukan otot yang akan membuat daging alot.

Pola makan seperti itulah yang mengakibatkan munculnya mitos bahwa sapi-sapi Jepang ini juga diberi minum bir. Padahal, pemberian bir hanya merupakan trick yang dipakai beberapa peternak Jepang agar sapinya lebih bernafsu makan, sehingga cepat gemuk. Dengan kata lain, pemberian bir bukanlah teknik standar dalam pembudidayaan wagyu.

Ada lagi mitos lain, yaitu bahwa sapi-sapi itu selalu dipijit-pijit sambil mendengarkan lagu klasik. Kalau benar demikian, barangkali yang digemukkan di Lampung akan lebih berotot karena sering bergoyang dengan irama dangdut.

Tentu saja, hasil akhirnya tidak akan seragam. Akan ada daging sapi yang kandungan lemaknya lebih tinggi dibanding sapi yang lain. Semakin tinggi kandungan lemaknya, pola marbling-nya akan semakin rapat dengan larik-larik lemak yang memutih. Perbedaan pola itulah yang menjadi dasar menentukan grade atau kualitas wagyu. Secara umum, disepakati gradasi dari 0 sampai 9. Semakin tinggi grade-nya, semakin tinggi kadar lemaknya, dan semakin empuk dagingnya. Sapi untuk wagyu juga harus disembelih pada usia 30-35 bulan untuk menghasilkan daging berkualitas optimum.

Sebagaimana kebiasaan Jalansutra, William Wongso dan dua orang graders dari Australia didaulat untuk terlebih dahulu memberi penjelasan tentang wagyu yang digemukkan di Lampung ini. Ternyata, selain grading berdasarkan pola marbling, kualitas wagyu juga ditentukan oleh silsilahnya. Dengan kata lain, semakin panjang rantai persilangannya, semakin blaster dan semakin rendah mutunya. Gradasinya ditentukan dengan kode F1, F2, dan seterusnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com