Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (123): Tanpa Cahaya Mentari

Kompas.com - 22/01/2009, 08:25 WIB

Desa Rasyid, letaknya empat kilometer dari Khel, berukuran cukup besar. Rumah-rumah batu berjajar dalam kegersangan dan coklat kelabu yang monoton. Hanya satu toko yang menjual barang kebutuhan penduduk desa, mulai dari paku, pisau cukur, sampai lampu senter. Tak ada yang beli. Berdagang di tempat seperti ini memang tidak menjanjikan terlalu banyak keuntungan.

Tetapi di sini pun Mir atau Raja Hunza pernah membangun ‘istana’-nya. Majid membawa saya mengunjungi sebuah rumah yang umurnya konon sudah ratusan tahun, dan konon milik sang Mir. Isinya seperti rumah-rumah Chapursan yang lain, dari lempung dan teramat sederhana. Cuma sedikit lebih bersih karena tidak dilapisi jelaga. Ada matras yang melapisi lantai.

Sebuah pintu rumah batu terbuka. Seorang wanita muda berkerudung hitam menyambut kami. Ia langsung menciumi tangan Majid ketika bersalaman, sebagai wujud penghormatan.

Wanita ini adalah adik kandung Majid, baru menikah, pindah ke desa Rasyid, dan dikaruniai seorang bayi. Kalau ditanya berapa umurnya, Majid angkat bahu. Ia tak ingat kapan adik kandungnya dilahirkan. Tak perlu heran, satu keluarga di sini bisa menghasilkan sepuluhan anak, jadi tak semua orang tahu umur saudara-saudaranya sendiri. Untunglah, Majid masih ingat nama adiknya ini.

Perempuan ini tak banyak bicara. Hanya tersenyum senang. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Wakhi Tajik. Dengan cekatan perempuan berkerudung ini langsung menyiapkan chapati, yang digoreng di atas wajan datar. Kemudian datang pula seorang tetangga perempuan, bergabung bersama kami. Kedua wanita bersalaman dan saling mencium tangan pada saat bersamaan.

Angin masih menderu kencang ketika kami meninggalkan rumah ini, dalam perjalanan kembali ke Khel. Debu beterbangan, menutup pandangan. Di sini hanya ada satu jalan, tidak ada percabangan atau persimpangan. Semuanya dibatasi gunung-gunung raksasa yang tangguh bak tembok tak tertembus.

Chapursan di musim panas tentunya tidak semuram ini. Alam Jan Dario mungkin adalah nama yang paling terkenal di seluruh lembah Chapursan. Dia tinggal di Zudkhon, dusun paling ujung Chapursan, paling dekat dengan perbatasan Afghanistan. Chapursan terletak sejajar dengan perbatasan Pakistan-Afghanistan. Di seberang perbatasan sana, di sisi Afghanistan, adalah sebuah koridor sempit yang dulunya dipakai untuk memisahkan kekuasaan kolonial Inggris di British India dengan imperium Rusia. Di koridor itu juga hidup orang-orang yang sama, para penutur bahasa Wakhi Tajik dan pemeluk Ismaili.

Saya sendiri belum sampai ke Zudkhon, tetapi telinga dan mata saya tidak pernah lepas dari nama Alam Jan. Tidak ada orang Chapursan yang tidak tahu tentangnya. Bahkan profilnya sudah dimuat di majalah Jerman, sebagai orang pertama yang punya komputer di lembah tersembunyi ini, dan sebagai orang pertama yang menghidupkan pariwisata, melepaskan isolasi total di Chapursan.

          "THREE DAY TREKKING
          TO AFGHANISTAN BORDER
          PASSING THROUGH XX PASS AND BABAGHUNDI ZIARAT
         
          Difficulty Level
: Very Hard"

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com