Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (124): Mehman

Kompas.com - 23/01/2009, 07:25 WIB

‘Tidak jauh’, seperti yang dikatakan oleh sopir truk itu, dalam kenyataannya adalah 20 kilometer jaraknya. Ukuran jauh dekat orang pegunungan mungkin memang tidak sama dengan standar kita. Beruntung saya mendapat tumpangan lain, sebuah truk punya orang-orang Pathan dari selatan Pakistan, menuju ke kota Rawalpindi.

Di Pakistan, tak ada orang yang membiarkan tamu kesusahan. Demikian juga para sopir truk. Hampir semuanya berhenti menawarkan tumpangan kepada saya yang sedang berjalan kaki. Saya amat suka naik truk, apalagi kalau duduk di atap. Gunung menjulang di kiri-kanan. Di atas atap truk, semuanya tampak garang, perkasa, penuh aura. Hanya dua hal yang menganggu – angin yang menderu dan kabel listrik yang tergantung, melintang rendah di atas jalan.

Truk Pakistan bukan hanya sebarang alat transportasi. Truk juga merupakan sebuah karya seni. Lihatlah betapa mewahnya perhiasan, ukiran, gambaran yang memoles sekujur tubuh truk ini. Pengemudi truk, yang biasanya identitik dengan hidup yang keras, ternyata juga manusia yang punya cita rasa seni tinggi. Bunga merah, kuning, dan hijau yang tak pernah absen di depan kemudi memberikan sentuhan feminin. Kaca depan selalu bertulis “Ya Allah” dan “Masya Allah”.

Pasu terletak di lembah Gojal. Menurut seorang pria yang mengaku sejarawan di Karimabad, kata Gojal berasal dari kisah pejabat kolonial Inggris yang salah dengar kata ‘go jail’. Di dusun Pasu, gunung-gunung tinggi berujung runcing menjulang, mirip atap katedral. Salju masih membungkus puncak-puncaknya, menambah kemahaagungan barisan arsitektur alam ciptaan-Nya. Di hadapannya ada sungai es terbesar kedua di dunia, memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan.

Desa yang begitu indah ini adalah desa mati. Tak ada seorang pun di sini. Di musim dingin, hampir tak ada wisatawan yang datang ke Lembah Hunza. Listrik pun terbatas. Penduduk desa Pasu, yang kebanyakan adalah pemilik warung dan losmen, mengungsi ke tempat yang lebih hangat dan nyaman ketika tak ada lagi bisnis yang menjanjikan di sini.

Perut keroncongan, saya berjalan terseok-seok. Jalanan sepi, hampir tak ada truk yang melintas. Sejak awal Januari hingga musim panas nanti perbatasan Khunjerab dengan China ditutup. Angkutan barang komoditas ekspor dan impor sudah jarang. Bahkan untuk menumpang truk pun saya seharusnya tak berharap banyak.

Saya berjalan lagi hampir dua jam, ketika tiba-tiba melintas sebuah truk besar yang berhenti sendiri tanpa saya melambaikan tangan.

          “Naik, ayo cepat,” seru sopir.

Melihat saya yang kelaparan, ia membelikan saya biskuit. Saya sama sekali tidak dibolehkan membayar sepeser pun.

          “Aap hamare mehman hai!” Kata mehman sungguh membuat ego saya tertohok.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com