Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (128): Sharbat dan Tamasha

Kompas.com - 29/01/2009, 09:48 WIB

Karim menyebutkan angka berapa pohon yang harus ditebang. Saya tak ingat jumlah pastinya, yang jelas banyak sekali. Untuk memasak bergentong-gentong makanan untuk ratusan tamu, mulai dari acara tamasha sampai nikah, tentu butuh bahan bakar yang tidak sedikit. Hari ini adalah hari sibuk baginya.

Tamasha adalah sebuah perayaan yang gegap gempita. Di siang hari keluarga itu sibuk menerima tamu dari tetangga sekitar, menjamu semua orang dengan sharbat dengan sup supra. Menjelang sore hari, musik mulai berkumandang. Tari-tarian tamasha dimulai.

Ada tiga orang pemusik, semuanya laki-laki. Yang satu membawa sepasang kendang kecil, dakalungkan dari tengkuk. Yang satu lagi membawa trompet panjang.  Dan yang terakhir membawa genderang besar. Ketiga pemusik ini berangkat dari dalam rumah menuju ke halaman. Bulan Januari di Karimabad dingin menggigit. Di bawah bayang-bayang gunung salju, mereka memainkan musik yang menyihir semua pria untuk larut dalam kebahagiaan tari-tarian.

Alunan musiknya lembut. Bunyi trompet yang seakan menjerit, mendominasi dengan nada-nada tinggi. Genderang dan tetabuhan kendang memacu semangat. Yang pertama menari adalah para tetua keluarga. Ayah Karim yang sudah bungkuk diikuti Karim dan sepupunya yang berbaris di belakangnya menari mengelilingi lingkaran,. Di sini yang boleh menari hanya laki-laki, perempuan hanya menonton di pinggir. Para pria berjalan lambat, sesekali melompat, mengepakkan tangan kanan disusul tangan kiri bergantian. Ayah Karim sudah tua, tetapi semangat menarinya luar biasa. Para kerabat memberi penghormatan dengan menyematkan lembaran uang kertas ke lipatan topi pakkol di atas kepalanya.

Setelah lelah menari, ayah Karim mengumpulkan lembar uang itu, semuanya diserahkan kepada para pemusik. Sekarang musik semakin cepat. Anak-anak muda turun ke tengah lapangan. Aturan mainnya masih sama, berbaris rapi berjalan mengelilingi lingkaran. Tetapi kaum muda ini masih penuh tenaga. Mereka senantiasa melompat bertumpu kaki kanan, seperti engklek, kemudian ganti kaki kiri. Tangan mereka mengepak dengan gerak putus-putus. Semakin cepat genderang ditabuh, semakin cepat mereka berputar. Penonton laki-laki bersuit-suit tanpa henti. Penonton perempuan berbisik-bisik. Sesekali mereka dikejutkan oleh bunyi petasan yang meledak.

Semakin malam acara semakin liar. Musik semakin cepat. Ledakan petasan semakin hebat. Dan bau hunza pani, ‘air Hunza’ – sejenis minuman lokal beralkohol menyeruak mengisi keramaian.

Tamasha terus berlangsung meriah. Ayah Karim mengundang saya masuk ke dalam rumah, ke ruang utama. Di dalam kamar ini tergantung foto Aga Khan ukuran besar sedang tersenyum. Paman-paman Karim semua duduk di sini, berjajar sepanjang kain yang berfungsi sebagai taplak makan. Di atasnya ada roti chapati, mentega, dan teh.

          “Kamu benar ingin melihat acara pernikahan besok?” tanya seorang paman.
          Saya mengangguk.
          “Kalau begitu, besok pagi jangan lupa, datang ke sini jam sembilan pagi.”

Wah..., saya langsung bersorak. Tetapi bukankah jumlah rombongan sudah ditetapkan empat puluh orang? Ayah Karim tertawa, terkekeh-kekeh.

          “Itu bisa diatur. Nanti yang berangkat dari sini bisa ditambah jadi lima puluh orang.”

Saya tak sabar menanti datangnya esok. Sementara di luar sana, musik tamasha terus memecah kesunyian di barisan pegunungan bisu, bertalu-talu hingga tengah malam.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com