Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (131): Berjalan Lagi

Kompas.com - 03/02/2009, 07:13 WIB

Adalah tugas Hussain membawa kakaknya menempuh perjalanan panjang 18 jam dengan bus, menyusuri Karakoram Highway hingga ke Manshera, hanya untuk periksa ke dokter. Hidup di dusun terpencil di pinggang gunung seperti Karimabad ini memang susah. Semuanya tak ada. Kalau bukan ke China, yang satu hari penuh perjalanan, orang mesti ke Islamabad, yang waktu tempuhnya juga hampir sama.. Jalan gunung ini berbahaya. Bukan hanya jalannya sempit dengan liukan-liukan maut, tetapi juga longsor bisa datang sewaktu-waktu, melemparkan kendaraan mungil manusia ke dalam jurang dan sungai yang garang.

Walaupun cuma ke Mansehra dan hanya empat hari paling lama, bagi Hassan Shah – ayah Hussain – ini adalah peristiwa besar yang penuh haru. Lelaki tua itu seakan tak kuasa melepas kepergian kedua putranya itu. Pagi-pagi buta Hassan Shah sudah menjerang air dan menyiapkan teh. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh anak-anaknya, tetapi di hari istimewa ini giliran sang ayah yang melayani putranya.

Dengan mesin microwave tua yang jarang dipakai, Hassan membikin roti spesial untuk putranya. Ukurannya besar sekali. Bau harum menyeruak, membuat perut saya langsung keroncongan lagi. Hussain hanya senyum-senyum saja menerima roti bikinan ayahnya itu. Salman, kosong, seperti biasa. Tetapi kakek tua Hassan berkaca-kaca matanya. Ada kesedihan dan keharuan yang tertahan.

Melihat mata seorang ayah tua itu, saya langsung teringat bagaimana ibu saya tak kuasa menahan air mata ketika melepas kepergian saya belajar di negeri seberang.

         “Jangan menangis,” hibur saya, mencoba segala upaya mengubah air mata itu menjadi seulas senyum, “aku cuma pergi belajar. Setahun lagi aku pasti kembali.” Semakin banyak saya berkata, semakin banyak pula air mata ibu yang tumpah.

Betapa berat melepas kepergian anak yang pergi jauh. Saya belum pernah jadi orang tua, tetapi saya tahu rasanya. Setiap dua atau tiga hari sekali, saya menerima e-mail dari ibu saya yang menanyakan di mana saya berada. Beliau tak tahu di mana itu Karimabad, atau Hunza, atau gunung-gunung Karakoram. Hanya nama Pakistan yang dikenal. Dan seperti kebanyakan orang tua pada umumnya, nama Pakistan sudah cukup membuat tidur tak nyenyak.

Ibu pernah berkisah betapa rasa rindu itu membuatnya menangis sendirian tengah malam. Terisak dalam kesepian. Entah berapa helai rambutnya yang memutih setiap harinya karena memikirkan anaknya yang entah di mana rimbanya.

Saya pun tak tahu kapan saya akan pulang. Tetapi air mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya membuat saya rindu kehangatan orang tua. Saya larut dalam haru.

Tas ransel sudah kembali bertengger di punggung saya. Berat rasanya. Sudah lama sekali saya tidak merasakan rasanya menggendong ransel, berjalan lagi ke tempat-tempat baru, merambah dunia yang luas. Tetapi senang sekali rasanya, saya kembali lagi ke kehidupan yang lama, melangkahkan kaki kembali menjalani takdir di alam raya.

 

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com