Ribuan orang ini bergerak perlahan-lahan menuju Mall Road, jalan utama kota Lahore. Pot bunga sepanjang jalan sudah hancur. Apa salah pot-pot dan bunga-bunga malang ini? Di kejauhan, api besar membara mewarnai angkasa. Langit biru Lahore dicorat-coret hitamnya asap.
Kota Lahore terbakar. Gerai McDonald's sudah ludes. Bangku dan meja diarak keluar. Mesin kasir dirusak. Sobekan-sobekan kertas beterbangan, diterpa angin, bak hujan gerimis berjatuhan ke arah lautan manusia. Kentucky Fried Chicken, National Bank Pakistan, Askari Bank, Pizza Hut, showroom Suzuki mengalami nasib serupa.
Saya masih sempat menyaksikan rumah makan Shezan membara. Ini restoran langganan saya, kepunyaan orang Pakistan dan sama sekali tidak terkait-mengait dengan kartun Denmark. Kenapa harus jadi korban? Juga puluhan mobil dan sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan. Ludes, menjelma menjadi rongsokan besi gosong.
“Semua sudah gila,” kata Qutbi lirih. Saya mengangguk. Tak terasa air mata menetes di pipi. Bagaimana mungkin kota Lahore yang saya cintai, dalam sekejap menjadi puing-puing dilalap api kemarahan?
“Yih bahut accha hai! Ini bagus sekali!” kata seorang pemuda tertawa bangga, setelah membakar mobil-mobil yang diparkir di dekat Bank Askari. “Amerika memang harus dijatuhkan!” Saya tak tahu apa hubungannya menjatuhkan Amerika dengan cara membakar mobil di Pakistan. Qutbi segera menyeret saya pergi, supaya saya tidak sampai berdebat dengan kerumunan orang marah ini.
Ada juga yang memancing di keruhnya air kubangan ini. Belasan pemuda menyeruak masuk ke gedung-gedung mewah sepanjang Mall Road, menjarah apa saja yang bisa diambil. Laptop, televisi, mesin cuci. Semua diboyong keluar. Yang terlalu berat langsung dibakar. Tumpukan monitor dan komputer menyemburkan api di jalanan yang padat oleh para demonstran.
Lahore, salah satu kota paling modern di Pakistan, kini dibanjiri orang-orang berserban. Dari mana datangnya mereka? Di hari-hari biasa, saya hampir tak pernah melihat mode pakaian seperti ini di Lahore. Tetapi sekarang, mereka ribuan jumlahnya. “Mereka bukan orang sini,” bisik Qutbi.
Di manakah polisi? Setelah kantor Citibank ludes, rombongan polisi bertongkat kayu baru datang. Para perusuh yang diperintahkan bubar, malah bangkit kemarahannya. Mereka melempar batu ke arah polisi. Polisi menyemprotkan gas air mata. Saya berada di tengah-tengah.
Saya bersembunyi menghindari batu yang beterbangan. Tetapi mata saya perih. Baru pertama kali saya merasakan semprotan gas. Qutbi sudah tidak sabar lagi, menyeret saya ke pinggiran. Saya hanya melihat darah membilas trotoar.
Suara tembakan terdengar. Perusuh mulai reda. Semua orang diperintahkan duduk. Seorang mullah pemimpin Jama’at-e-Islami menenangkan massa, meminta mereka pulang. Kemarahan tak bisa diredam dengan tembakan dan gas air mata. Hanya omongan sang mullah yang manjur untuk membuyarkan kerumunan ini.