“Ibu tahu segala-galanya tentang kamu,” kata Mubasshar, “Ibu tahu waktu kamu sakit perut, terpeleset, pergi ke Gilgit, setiap gerak-gerikmu beliau perhatikan.”
“Bagaimana beliau bisa tahu tentang aku?” saya keheranan.
“Kamilah, anak-anaknya, yang selalu bercerita tentangmu pada Ibu.”
Kaum perempuan Pakistan seringkali tak terlihat dalam kehidupan, bersembunyi di sudut rumah dan terhalangi dinding tembus pandang dalam interaksi dengan lelaki yang merajai dunia. Tetapi bukan berarti mereka tak punya cara untuk mengetahui dunia luar. Mata mereka tetap terbuka lebar dan telinga mereka mendengarkan setiap desah angin sekalipun. Anak-anak, suami, tetangga, kerabat, semuanya adalah sumber informasi yang akurat.
Dalam tenda keluarga itu, Mudassar (16 tahun) dan Amar (10 tahun), kedua adik Mubasshar, menunjukkan foto-foto kenangan adik-adik mereka yang telah pergi. Semuanya masih balita. Yang paling menyedihkan adalah foto Bu Basyir menggendong bayi kecil dengan wajah mirip China itu. Foto itu benar-benar mengingatkan saya pada foto ibu saya yang menggendong saya waktu bayi. Saya mengerti mengapa Bu Basyir begitu terharu melihat saya. Itulah kasih sayang seorang ibu yang tak terbantahkan.
Bu Basyir datang ke tenda. Inilah kali pertama kami bertatap pandang. Tak banyak percakapan, yang ada hanya kekikukan, senyum kecil, dan setitik air di ujung mata. Sungguh saya telah membuka lagi luka lamanya.
Keluarga ini benar-benar bangkit dari puing-puing. Reruntuhan batu di lapangan yang menghadap langsung ke puncak salju Nanga Parbat menunjukkan ukuran rumah mereka yang sangat besar. Sekarang keluarga ini harus tinggal di dalam tenda sederhana. Pastilah tak mudah bagi orang yang dulunya kaya raya dan kini harus kehilangan segalanya.
Tetapi saya melihat ketabahan yang luar biasa dalam kesederhanaan Pak Basyir yang begitu banyak berkorban sebagai penjaga kemah. Saya menaruh hormat yang luar biasa kepadanya, yang tak pernah mengeluarkan keluh kesah apa pun tentang bencana yang dialaminya.
Dibandingkan dengan orang dewasa yang punya setumpuk ikatan masa lalu, anak-anak mungkin lebih mudah melupakan. Zein, bocah enam tahun keponakan Basyir yang tinggal di lereng atas, bermain dengan riang, berlari ke sana ke mari, seraya berteriak, “baby full... baby full....” Maksudnya ‘beautiful’. Dia sudah tak ingat lagi ketika adiknya yang masih balita, yang duduk di sampingnya ketika gempa mengoyak bumi. Zein dan adiknya dievakuasi dari reruntuhan sehari sesudah gempa. Yang satu bertahan hidup, yang satunya lagi beristirahat dalam liang lahat mungil di lereng bukit.
“Hidup harus terus berjalan,” kata Pak Basyir. Ada semangat luar biasa di mata tuanya yang berbinar. Lima bulan sudah Pak Basyir dan putra-putranya bekerja membangun rumah permanen dari bahan bangunan yang disediakan organisasi kami. Kini rumah mungil itu sudah hampir jadi, dinding-dindingnya dari lembaran CGI sheet yang mirip lembaran seng, dicat warna merah menyala.